19 April 2017 Akan Memperlihatkan Wajah Indonesia

Demokrasi seringkali hanya dilihat sebagai cara untuk mendapatkan posisi atau kekuasaan dengan cara pemungutan suara atau voting. Tapi sebenarnya demokrasi secara filosofis adalah sebuah sistem yang mampu untuk memetakan kondisi nyata masyarakat.   Diperlihatkannya sebuah wajah.

Apa yang terjadi di Pilkada DKI, sepanas apapun jalannya kampanye, adalah bentuk dari demokrasi.  Dan demokrasi di DKI sejauh ini memperlihatkan wajah Indonesia adalah wajah yang kusut, berkeringat, dan penuh bopeng radikalisme agama.

Demokrasi tidak bisa bohong, karena demokrasi hanyalah sebuah sistem. Manusianyalah yang berbohong.  Politik uang sampai intimidasi memperlihatkan bahwa masyarakat Indonesia masih bisa dibeli, dan ditakut-takuti.

Apabila masyarakat memilih karena uang, maka itulah realitasnya.  Suka atau tidak.  Demikian juga mungkin karena ada intimidasi  maka keadaan itupun harus diterima apa adanya bahwa masyarakt Indonesia itu masih bermental budak yang diliputi roh penakut.

Poinnya, kita tidak bisa menyalahkan demokrasi, karena demokrasi hanya memperlihatkan siapa kita sebenarnya.

Sebab itu, 19 April 2017 akan memperlihatkan wajah Indonesia yang sebenarnya.  Karena Jakarta bisa dikatakan sebagai perwakilan Indonesia, maka wajah Jakarta adalah wajah Indonesia.

Sampai sejauh ini, pertempuran mengerucut menjadi Islam nusantara vs Islam radikal.  Ahok-Djarot mewakili Islam moderat, Anies-Sandi mewakili Islam radikal. Apabila misalnya moderat menang 51-49, maka cara membaca yang benar adalah hampir separo dari Jakarta dipengaruhi Islam radikal.

Hal ini jelas membuat masa depan Indonesia menjadi dipertanyakan. Bahkan jika moderat menang 70-30 pun masih terasa terlalu banyak penyuka radikalisme.  Membayangkan 30% DKI Islam radikal adalah sebuah bayangan yang membuat kita mengerutkan kening.

Lebih parah, apabila moderat kalah.  Sudah tidak bisa mempengaruhi kebijakan karena diluar sistem, di luar sistem pun kalah kuat.  Inilah sebabnya seorang seperti Buya Syafii sampai mengangkat senjata ikut mendukung Ahok (baca : Buya Syafii Angkat Tongkat, Bahaya Radikalisme Masuk Siaga Satu)

Sejauh ini, demokrasi memperlihatkan bahwa bahaya laten radikalisme sudah di lampu merah, itupun merah yang sangat tua.  Kemenangan radikalisme melalui Anies-Sandi akan membuat perjuangan menegakkan Pancasila dan NKRI semakin keras.

Jadi apapun hasilnya, sekarang ini trend yang terlihat masih tidak bagus. Raport demokrasi sejauh ini memperlihatkan akar rumput masyarakat Indonesia masih rawan untuk dimanipulasi.   Artinya masyarakat masih buta politik, buta hati, dan buta mata.  Sebuah pekerjaan rumah yang besar bagi para relawan Indonesia Baru.

Radikalisasi Indonesia tidak terjadi dengan tiba-tiba di Pilkada DKI 2017. Bertahun-tahun proses radikalisasi sudah terjadi, Ahok hanyalah pintu masuk mereka ke panggung yang lebih besar.  Anies hanyalah kuda liar yang dijinakkan untuk kepentingan.  Itulah keadaan Indonesia yang harus kita terus perjuangkan.

Pendekar Solo

Coretan Lain:

Please follow and like us: