Menjelang 20 Oktober 2019, suhu politik memanas. Mulai dari Papua, KPK, asap, sampai demo-demo aneh dari mahasiswa kurang kerjaan terjadi. Sekedar info aja, saya memang tidak pernah menghargai demo-demo jalanan yang cuma bikin macet jalan dengan alasan aspirasi demokrasi. mbelgedes.
Kecuali kondisi negara yang tidak bisa memungkinkan berkomunikasi dengan baik, pers, dan suara sosial dibungkam seperti jamannya Soeharto, demo jalanan lebih banyak mudaratnya daripada baiknya. Demokrasi beradab selalu dalam dialog, musyawarah, dan perdebatan intelektual. Selebihnya cuma politisi-politisi amatir yang digunakan sebagai perpanjangan tangan-tangan status quo. geblek.
Mungkin sejak dulu saya memang lebih suka memilih jalan sendiri untuk berbakti bagi bangsa ini (tidak lewat demo jalanan, red). Dikarenakan, wakti itu melihat aktifis BEM, kampus, dan demo-demo yang nilai IP-nya jeblok-jeblok ngomong soal bangsa, bagi saya tidak masuk akal. Bikin paper aja harus nyontek, bergaya mau komentar soal undang-undang yang mungkin draftnya aja dibaca aja tidak adalah penjelmaan frasa amit-amit jabang bayi.
Setelah orasi-orasi mahasiswa radikal waktu 212 dan pilpres, terbukti lagi akhirnya demo-demo yang mengaku mahasiswa menjadi rusuh dimana-mana, dan itupun tidak diakui kampus-kampus besar yang masih waras. Sudah tidak tahu substansi, bikin pernyataan-pernyataan jorok dengan gampangnya seperti kenthu, kelonan, selangkangan memperlihatkan otak-otak mereka ini belum tentu lebih baik dari anggota-anggota DPR yang sudah. gilani pokoknya.
Kegusaran saya semakin membesar melihat SJW-SJW (social justice warrior) yang berlalu lalang di media mengompori sana-sini, bikin ruwet negara yang akhirnya cuma cari dana donatur, atau idealisme kosong demi kebanggan pribadi. Kaum ekstrem kiri (lefties) yang bertumbuh sangat subur karena pupuk radikalis (ektrim kanan/right) menambah ambyarnya kondisi kebatinan masyarakat. kudu bakoh.
Apa Yang Terjadi?
Jokowi segera dilantik, tapi Kabinet bayangan pun belum terdengar. Pers, sosial media, para pendemo dan semua politisi yang biasa cerewet pun diam sejuta bahasa, ada apa? Seharusnya itu yang dikejar, karena keputusan Jokowi dalam pembentukan kabinet adalah taruhan untuk lima tahun yang akan datang. mudeng ga?
Bagi yang punya mata, seharusnya bisa melihat bahwa di level elit politik ada tarik-tarikan yang luar biasa untuk penempatan para menteri ini. Sehingga semua ingin mendapatkankan jatah, semua keributan politik sebelum pelantikan pada akhirnya cuma bargaining power untuk Jokowi supaya mau tunduk kepada calon-calon mereka. semprul.
Periode ke-2 Jokowi ini sangat menentukan masa depan Indonesia. Radikalisme, dan Koruptor adalah dua kartu mati yang harus dihadapi secara ideologis dan strategis. Diperparah oleh begundal-begundal politik yang oportunis dan sektarian maka kondisi Jokowi (atau sebenarnya siapapun) sangat sulit. Pendekatan Jokowi yang memakai jurus “mlipir” (jw) diantara buaya, ular beludak, dan kalajengking terbukti pendekatan yang terbaik untuk saat ini.
Pendekatan frontal model Ahok ternyata gagal juga bukan? Atau pendekatan Anies yang kompromis yang akhirnya justru lebih tidak jelas lagi dia itu siapa sebenarnya? Artinya begini, Jokowi sebagai presiden terpilih 2019 – 2024 memiliki tantangan ideologis, strategis, dan global yang harus memutuskan berdasarkan skala prioritas, jadi jangan direcoki dengan demo-demo ora cetho seperti #GejayanMemanggil. Memanggil apanya?
Yang saya tahu memanggil ketakutan masyarakat sehingga harus melarang anak-anaknya sekolah, sehingga akhirnya kerja pun terganggu. Terus bagaimana kalau sudah seperti ini? Siapa yang mau tanggung jawab? Jokowi lagi? Atau siapa? Pie.
Daripada model-model #Gejayan Memanggil saya lebih mengapresiasi gerakan kampus seperti #IndonesiaNeedsYou yang membangun semangat para mahasiswa dan rakyat untuk melakukan hal-hal positif bagi masyrakat.
Asap bukan untuk dinyinyiri tapi untuk dibantu uang, barang, atau relawan.
Papua butuh disembuhkan dengan terus bergerak membangun keluarga NKRI dalam dialog dan perjumpaan-perjumpaan.
Rakyat butuh kajian ilmiah yang jelas soal RUU-RUU yang ada bukan opini-opini tanpa dasar yang dipelintir.
Pers seperti Tempo yang memalukan, bahkan Kompas pun terus mendorong soal KPK membikin muak dan was-was. Sudah sejauh itukah radikalis merusak Indonesia?
#GejayanMemanggil is a big mistake! Yang benar adalah #TuhanMemanggil, ya Dia memanggil kita semua untuk berbuat kebaikan bagi bangsa ini tanpa harus merugikan orang lain, dan membuka kesempatan ditunggangi dan dipolitisasi. Indonesia Needs You! Apa yang kita akan lakukan sekarang diluar demo! Ayo tunjukkan!
Pendekar Solo
Coretan Lain:
- Mengapa FIFA Tidak Mendengarkan Presiden RI?
- Indonesia Darurat atau Baik-Baik?
- Kerusakan Moral Politik Indonesia Sudah Dilevel Akut
- Posisi Strategis PDI-P Untuk Indonesia Baru
- FPI Lebih Nasionalis Dari Agnez Mo?