Tsunami Demokrasi, Memotret 20 Maret 2024

20 Maret 2024 seharusnya menjadi hari sukacita seluruh bangsa Indonesia, karena proses “pesta demokrasi” sudah sampai titik puncak.  Pemenang Pemilu 2024 sudah diumumkan.  Tetapi, kebatinan bangsa terasa tidak seperti sebuah pesta.  Dingin, dan agak “spooky”.

Sliweran di timeline bagi pendukung 01, 02, dan 03 terasa tidak lagi ada greget.  Seakan-akan mengatakan “karepmu”.  Yang mononjol justru adalah bencana alam banjir di Demak, dan Pati ditempat-tempat dimana pertempuran konstestasi yang dipermasalahkan kali ini ada.

Penduduk yang kebanjiran, yang menurut data KPU seharusnya ikut berpesta karena yang didukung dinyatakan menang, ternyata malah antiklimaks.  Bansos pun belum diterima setelah berhari-hari banjir.  Ada apa sebenarnya semua ini?

Pemilu Paling Brutal?

Bagi pemenang pemilu tentu tidak akan terima pernyataan ini. Tapi realitasnya pernyataan Pemilu Paling Brutal setelah Reformasi ini telah menjadi sebuah pernyataan umum yang akan sulit hilang.  Waktu mungkin bisa menghilangkannya. Karena sudah terbukti Indonesia bisa melupakan Orba, 98, 2012, 2014, bahkan yang terdekat 2019.

Keluarga Jokowi sudah mengambil keputusan politik besar dan migrasi menjadi kubu yang melawan arus demokrasi. Realitas bahwa banyak nasionalis yang ternyata tidak demokratis adalah fakta menjadi menarik untuk dikaji lebih jauh kedepan.  Jokowi menjadi simbol pragmatisme kekuasaan dan memang menunjukkan dia lebih Kuning, daripada Merah.

Kekecewaan terbesar yang terpendam dalam di puluhan dan mungkin realitasnya ratusan juta penduduk Indonesia adalah gagalnya Indonesia menjadi negara demokrasi yang bisa mengukir sejarah.  Indonesia harus kembali lagi ke titik nol demokrasi; Back to the Beginning!

Sementara proses perlawanan politik, hukum, bahkan jalanan masih terus berlangsung, fakta sementara menunjukkan bahwa alih-alih rekonsiliasi, aliansi Jokowi-Prabowo telah membelah Indonesia menjadi tiga.  Kubu 01 yang mewakili agama, dan fundamentalis, semakin mendapatkan momentum perubahan.  Nasdem, PKB, dan PKS mendapatkan suara yang cukup kuat.  Kubu ini (terutama PKS) memiliki platform dimana radikalis lebih nyaman untuk mengikut. Artinya, kelompok radikalis diprediksi akan menguat.

Kubu 03 dapat dikatakan mewakili kelompok nasionalis demokratis yang terpecah dari kubu 02 yang nasionalis pragmatis.  Fragmentasi bangsa akan semakin tajam.  Saat ini nasionalis pragmatis yang diwakili  Jokowi-Gibran-Prabowo mengandung muatan bom waktu yang kita tidak pernah akan tahu kapan meledak dalam internal mereka sendiri.  Masih ditambah, bom waktu melawan arus demokrasi yang tidak terbendung lagi.

Kelompok pro-demokrasi akan semakin menguat dan bersatu menjadi bagian dari perubahan.  Sejarah mencatat, Indonesia selalu cepat dalam menghancurkan separatis agama dan ideologi radikal, tetapi ketika bertemu dengan pragmatis selalu lambat mengantisipasi.  Artinya,  kelompok pro-demokrasi akan menjadi kekuatan oposan yang tidak bisa berhenti dengan natural, kecuali ada kompromi para elit.  Inilah yang dikuatirkan.

Masa Depan Indonesia

Masa lalu hanya bisa disyukuri.  Masa depan harus dipandang dengan sebuah harapan.  Tapi masa kini harus dihadapi.  Saat ini Indonesia membutuhkan orang-orang yang tetap tegar dan berpengharapan bahwa Indonesia Baru tetap akan berlanjut.  Meskipun Jokowi sekeluarga secara politis kenegaraan sudah gugur, tetapi Indonesia Baru tetap akan melahirkan putra-putri terbaiknya untuk negeri ini.

Pemilu 2024 secara pahit harus kita nyatakan sebagai pemilu paling brutal.  Pengkhiatan menjadi tema utama politik Indonesia saat ini.  Tetapi, harapan jangan pudar.  Semangat terus harus ada.  Indonesia Baru masih memilih orang-orang terbaiknya.  Ini bukan saat menangisi diri, tapi saat dimana kita bergerak dan bersama-sama berselancar dengan arus besar demokrasi yang sudah terlihat akan menjadi tsunami demokrasi yang besar.  Bersiaplah!  The time has come.

Hanny Setiawan

Coretan Lain:

Please follow and like us: