Ketika Akademisi Mulai Mengkritisi Jokowi

Pemilu 2024 semakin mengkuatirkan.  Riang-gembira diruang publik yang sejak reformasi menjadi suasana kebatinan bangsa setiap 5 tahun, berubah menjadi “rasa takut” dan “kemarahan”.  Alih-alih menghilangkan apa yang dituduhkan sebagai polarisasi antara “cebong” dan “kadrun”, jurang politik antara pro-demokrasi (prodem), dan pro-kekuasan (projo) semakin besar dan membahayakan.

Sebelum 16 Oktober 2023 yaitu lahirnya putusan 90 Mahkamah Konstitusi yang mengubah UU Pemilu, kegelisahan prodem sudah disuarakan melalui para influencer. Usaha untuk “mengingatkan” Jokowi untuk tidak cawe-cawe menguat.  Sehingga lahirnya Putusan 90 yang bermasalaah, tagline #KamiMuak menggelegar dan membuat arus balik demokrasi di pemerintahan Jokowi.

Arus balik demokrasi semakin keras ketika MKMK memutuskan Pelanggaran Etika Berat, dan melengserkan Anwar Usman, paman Gibran, dari ketua MK. Putusan MKMK (sumber) (7/11/2023) ternyata tidak membuat KPU bergeming terhadap penetapan Prabowo-Gibran sebagai capres-cawapres. Akibatnya, posisi legal Prabowo-Gibran tidak bisa dihilangkan dari bayang-bayang pelayanggaran etika berat.  Inilah lubang legitimasi yang membuat arus balik demokrasi semakin menggulung, dan menjadi gelombang besar.

Gelombang keresahan demokrasi kemudian mulai semakin naik pasang ketika para tokoh bangsa bertemu Gus Mus (KH Ahmad Mustafa Bisri) di Rembang dan melahirkan MPR (Majelis Permusyawaratan Rembang) yang mengkuatirkan keadaan bangsa (13/11/2023)(Sumber). Gelombang arus balik demokrasi ini menjadi suara yang keras karena terjadi dalam konteks kontestasi pemilu 2024.  Suara influencer, tokoh bangsa, budayawan, bahkan rohaniwan menjadi satu suara yang keras dengan suara relawan-relawan politik yang sedang mencari suara elektoral.

31 Januari 2024, 14 hari sebelum hari H pemilu 2024 (14 Feb 2024), gelombang besar telah resmi menjadi awal Tsunami Demokrasi ketika sivitas akademia UGM mendeklarasikan Petisi Bulaksumur yang pada dasarnya berisi:

Dalam petisi tersebut, ada sejumlah kasus yang menjadi catatan, antara lain pelanggaran etik di Mahkamah Konstitusi (MK), keterlibatan aparat penegak hukum dalam proses demokrasi, hingga pernyataan Jokowi tentang keterlibatan pejabat publik dalam kampanye politik yang dinilai kontradiktif. (sumber)

Efek domino dari petisi ini telah men-trigger UII, UI, UMY, Unpad, Unhas, yang dapat mempengaruhi kampus-kampus lainnya. Kali ini bukan cuma mahasiswa, atau BEM, tapi para Guru Besar, dan profesor yang notabene tidak pernah bersuara sebelumnya.  Kelompok akademisi adalah kelompok terakhir yang akan turun ikut untuk menyentuh politik praktis apabila tidak ada bahaya yang dirasakan ada di bangsa ini.

Tanggapan istana dan Jokowi terlihat masih sangat normatif, bahkan cenderung menganggap enteng. Mungkin kekuasaan yang besar, dan masih ada elektoral yang kuat yang mendukung membuat terbutakan. Riak influencer, yang kemudian menjadi gelombang budayawan, dan rohaniwan, telah menjadi gejala awal tsunami demokrasi yang ujungnya bisa sangat merusak.

Tsunami tidak bisa dihentikan. Tsunami hanya bisa di antisipasi dan dihindari. Semoga para politisi yang sedan berkontestasi, dan kita rakyat biasa yang masih mau memikirkan negeri ini mau mengantisipasi, dan bersama-sama kita hindarkan NKRI dari kerusakan demokrasi yang lebih parah. Tuhan ampuni kami.  Pulihkan negeri kami.

With deep concern,

Hanny Setiawan

Coretan Lain:

Please follow and like us: