Paska Pilkada DKI, rekonsiliasi adalah kata kunci yang diteriakkan Anies-Sandi dan jendral perangnya Eep S. Fatah yang sukses secara mengejutkan dengan dengan strategi politisasi mesjid. Suatu himbauan yang positif, dan simpatik yang jelas dengan gampang diterima kita-kita pembela NKRI.
Tapi, realitas kampanye horor 8 bulan yang merobek-robek janji tenun kebangsaan telah membuat skeptis, dan sulit untuk mempercayai lagi ketulusan ajakan itu. Apa yang sebenarnya menjadi motivasi politik Anies-Sandi?
Apakah cukup dengan mengajak relawan-relawan Badja nonton bioskop, mengumpulkan lagi simpul-simpul relawan nasionalis dan menyuarakan “Ayo Ikut Kerja”. Kerja apa saudara-saudari sebangsa dan setanah air? Kerja ikut mensukseskan Prabowo jadi Presiden 2019 dan HT menjadi wakilnya?
Melanjutkan merajut tenun kebangsaan? Maaf ya, saya tidak pernah berhenti untuk merajutnya, sedikit pun tidak pernah mencoba merobek. Tapi kampanye-kampanye SARA yang menyesakkan dada, menyakitkan hati, merusak mimpi, dan sangat tidak manusiawi yang telah menginjak-injak apa yang telah dikerjakan bertahun-tahun.
Tapi rekonsiliasi tetaplah rekonsiliasi. Rekonsiliasi tidak bisa ditawar, itu komitmen kita sejak awal. Bahkan menurut saya, rekonsiliasi bangsa harus dikerjakan bukan hanya di Jakarta. Yang menjadi pertanyaan saya, rekonsiliasi seperti apa?
Rekonsiliasi memiliki akar kata konsiliasi yang artinya menghentikan kemarahan. Dan itu dimulai dari apology atau kata maaf. Dalam kasus Pilkada, kalau umat Islam marah kepada Ahok, Ahok sudah minta maaf dan sudah diadili secara hukum. Bahkan sudah kalah Pilkada. Kurang apa lagi?
Tapi sebaliknya, saya ini adalah orang yang marah besar karena seorang Anies yang notabene saya dukung untuk membangun Indonesia Baru ternyata dengan semena-mena melacurkan diri dengan politik SARA.
Dan saya yakin orang seperti saya ini banyak sekali. Dan sampai detik ini, permintaan maaf itu tidak ada sama sekali. Merasa bersalah pun tidak. Rekonsiliasi seperti apa yang ditawarkan?
Saya tidak ada partai politik, saya bukan orang politik. Saya hanya seorang WNI biasa dipinggiran kota Solo yang tetap mendukung Anies-Sandi menjadi gubernur yang amanah di Jakarta, tapi tidak bisa menerima cara kampanye yang kotor selama Pilada DKI 2017.
Tapi, saya terinspirasi dengan Finding Nemo seperti Ahok untuk melawan arus, mungkin arus yang sangat kecil dalam gelombang samudra politik yang sangat deras. Tapi saya yakin true voice akan mengalahkan false noise,sekecil apapun suara itu.
Tidak ada mayoritas atau minoritas dalam pandangan tenun kebangsaan. Selama “kredo” ini masih dipercaya, maka langkah awal rekonsiliasi yang harus dilakukan adalah pernyataan apakah hak untuk menjadi pemimpin bangsa ini masih dimiliki semua WNI, atau hanya agama tertentu?
Apabila seorang Anies tidak mempercayai ini lagi, tenunan seperti apa yang diharapkan?
Berhentilah bermain-main dengan kata. Apabila benar mau menjadi pemersatu, dan jembatan bagi semua, marilah kita mulai dari titik nol.
“Maafkan saya Jakarta, karena cara kampanye saya yang menyakiti, saya akan tebus dengan bekerja dengan baik dan benar dalam 5 tahun kedepan.
Kalimat yang saya dan bangsa ini tunggu, untuk awal sebuah proses panjang rekonsiliasi. I am ready, are you?
Pendekar Solo
Coretan Lain:
- Politik Identitas Yohanies Yang Menyesakkan
- Nama Yehova, Allah Israel Tiba-Tiba Menjadi Pembicaraan di Media Indonesia
- Arti Politis Permintaan Maaf Rocky Gerung
- Rekonsiliasi Gagal Prabu
- Anies : Berbelok di 1 Jan 2017, Kejebur Banjir di 1 Jan 2020