Setelah meliuk, mendakik, dan menari kata-kata, Budiman Sudjatmiko akhirnya keluar dari Kloset dan mendeklarasikan mendukung Prabowo untuk Pemilu 2024. Bagi yang mengikuti, drama politik antara mantan penculik, dan yang diculik ini sebenarnya bukan hal mengejutkan. Keduanya sudah memiliki kehidupan lain. Mereka hanya mencari sesuap nasi di panggung politik. Pada akhirnya mereka berdua hanyalah politisi-politisi biasa yang perlu survive dengan kehidupan sehari-hari.
Pemilu 2024 bagi Prabowo dan Budiman adalan sebuah endgame, karena umur. 2024 Prabowo sudah mencapai 73th, jadi 2029 akan 78th. Hanya koalisi nekat yang akan mendukung opa tua untuk jadi presiden. Kasus Biden di Amerika bisa terulang di Indonesia. Bagi Budiman, karir politiknya seakan mentok karena tidak pernah dilirih dieksekutif. Mungkin Jokowi atau PDIP tahu kemampuan kepimpinan dan managerial yang terbatas dari BS. Kita tidak pernah tahu. Bahkan kementerian desa aja dia tidak dapat jatah apa-apa.
Persamaan nasib politik ini yang menyatukan mereka. Jadi bukan semangat Rekonsiliasi yang sesungguhnya. Sebagai pendukung Rekonsiliasi Bangsa sebagai jalan maju kedepan, saya sangat mendukung saling memaafkan, melupakan masa lalu, dan maju kedepan. Bung Karno pun pernah mengatakan “Rekonsiliasi Tidak Bisa Ditawar”. Jadi bukan rekonsiliasinya yang ditolak. Tetapi ada yang salah dengan Rekonsiliasi Prabowo-Budiman. Apa itu?
Rekonsilasi Prabu hanyalah rekonsilasi pribadi Budiman dengan mantan penculiknya. Apakah itu stockholm syndrome, mungkin saja seperti itu, mungkin juga tidak. Tetapi yang jelas Budiman, meskipun dia salah satu tokoh reformasi, tidak bisa mewakili seluruh korban penculikan, dan aktifis 98. Hal ini sama dengan Amien Rais, yang notabene mendapatkan keuntungan politik terbesar dari reformasi tanpa berkeringat banyak. Tapi Amien Rais sudah jauh dari Reformasi, bahkan semakin menjadi oposan yang non-intelektual yang berteriak-teriak dipinggir panggung politik.
Bukan hanya bersifat pribadi, tetapi TIMING dari rekonsiliasi Prabu yang murni politik praktis pemilu 2024 jelas tidak mampu menjadi snow ball effect, domino effect, atau butterfly effect. Praktis NO EFFECT, dan hanya mampu untuk memberi panggung sesaat seorang Budiman Sudjatmiko. Isu keuangan yang menerpa, justru semakin menenggelamkan nama besar anak kandung reformasi 98. Tidak bisa ditutup mata, politik transaksi Prabu justru lebih menyengat dari pada motivasi rekonsiliasi.
Yang terakhir, aroma narasi pengkhianatan terhadap PDIP, terutama Megawati, GP, bahkan Jokowi sendiri telah berhasil membuat BS menjadi tokoh antagonis seperti Amien Rais dalam sesaat. Tokoh Sengkuni di budaya Indonesia adalah tokoh yang sangat dibenci. Begitu stigma pengkhianat disematkan, maka tidak akan ada ampun lagi. Merek politik sebesar apapun akan hancur. Anies, sebagai contoh lain, adalah tokoh tenun kebangsaan yang dianggap berkhianat, sampai hari ini stigma Sengkuni itu tetap melekat, meskipun usaha untuk menghapus sudah maksimal.
Prabowo sendiri sudah dicap sebagai pengkhianat bangsa, ketika dia menculik, dan melarikan ke Jordan, dan bagian dari Orba. Sudah 25th Prabowo cs mencoba menghapuskan jejak. Tetap tidak bisa. Masyarakat Indonesia TIDAK SUKA PENGKHIANAT. Sebab itu kenekatan BS untuk melompat ke kelompok Orba ini hanya bisa dilihat dari satu kemungkinan, kebutuhan hidup kedepan.
Rekonsiliasi yang hanya untuk kepentingan pribadi, adalah sebuah kompromi politik yang sarat transaksi bisnis, dan justru beraroma pengkhianatan. Meskipun rekonsiliasi Prabu sudah gagal, sekali lagi perlu ditekankan, usaha rekonsilasi itu sendiri tidak salah, tapi jadi jangan dijadikan barter kekuasaan, apalagi di-monetize. My deepeset condolence.
Pendekar Solo
Baca : Rekonsiliasi Seperti Apa Mas Anies?
Coretan Lain:
- Masyarakat Indonesia Tidak Suka PENGKHIANAT!
- Rekonsiliasi Seperti Apa Mas Anies?
- Pemilu 2024 : The Endgame Era Reformasi
- Ikut Berdukacita, RIP #OrdeReformasi
- Keanehan Logika Politik : Menerima Prabowo, Menolak Anies