PDI-P adalah parpol pemenang pertama setelah Golkar jatuh bersama jatuhnya Soeharto. Saya masih ingat betul, 7 Juni 1999 pemilu pertama setelah reformasi. PDI-P meraih 35.689.073 suara atau 33,74 persen dengan perolehan 153 kursi (sumber). Merah membara. Waktu itu saya ingat di Boston, US. 100% semua Merah! Ini disebabkan karena kemarahan yang tertumpah setelah 32 tahun dibohongi kelompok Orba.
Meskipun menang, tapi Megawati dikalahkan di MPR dan akhirnya “cuma” jadi wapres Gus Dur. Koalisi Partai-partai islam (Poros tengah) yang terbentuk setelah kemenangan PDI-P mampu bermanuver dan meredam Megawati. Tetapi, ternyata Gus Dur lebih tidak bisa dikontrol oleh mereka, sehingga akhirnya dilengserkan (2001), dan Megawati melanjutkan menjadi Presiden wanita pertama di Indonesia.
Perjalanan PDI-P dan Megawati setelah itu terganjal oleh SBY dan JK di 2004 akibat pemilihan langsung presiden yang pertama. Maka kembalilah PDI-P menjadi oposisi. 2004 itu masuklah Demokrat dan PKS sebagai the rising star pemilu paska Orba. 2009 kembali PDI-P kalah, Megawati yang mencoba menggandeng Prabowo semakin terpuruk. Maka selama 10 tahun PDI-P kembali menjadi oposisi.
Lahirnya Jokowi memecah kebuntuan PDI-P di eksekutif nasional, dan selama 10th terakhir, duet Jokowi – PDI-P telah terbukti menjadi harapan baru seperti yang diamanahkan Reformasi. Keberhasilan Jokowi di Solo, Jakarta, kemudian Indonesia tidak bisa dilepaskan dari dukungan penuh PDI-P. The Winning Team inilah yang sebenarnya menjadi puncak orde reformasi.
Di eksekutif Jokowi mampu berpolitik yang baik, dan deliver janji-janji politiknya terutama dibidang infrastruktur. Tapi keberhasilannya yang terbesar adalah mampu membuat rakyat Indonesia untuk “Berharap Lagi” dengan politik praktis. Tumbuhnya para relawan-relawan politik dan partisipasi dari silent majority di pemilu 2014 – 2019 karena rasa tidak nyaman kembalinya Prabowo dan “Kelompok Poros Tengah”
Pemilu 2024 menjadi sangat strategis karena Jokowi – PDI-P tidak lagi bisa menjadi satu paket secara langsung. Yang bisa hanya “endorsement Jokowi” dan PDI-P yang mendekati formasi the winning team. Itulah sebabnya pihak oposan baik dari Prabowo maupun Anies atau semua pihak yang tidak menyukai mereka melihat bahwa satu-satunya kesempatan untuk kembali kekuasaan adalah memecah kekuatan ini.
Jokowi dengan 80% kepuasaan rakyat, dan PDI-P pemenang pemilu 2019, sekaligus suvery terakhir 25% elektabilitas tetap menjadi kekuatan koalisi yang terbaik. Saat ini yang coba dilakukan adalah memecah kekuatan internal Jokowi (pecahnya relawan), menjadikan PDI-P common enemy, dan akhirnya memecah Jokowi dengan PDI-P.
Jokowi hanya seorang pribadi, maka Jokowi sendiri yang harus memutuskan. Bisa dikatakan “Hanya Jokowi yang bisa mengalahkan Jokowi”. Artinya, saat ini Jokowi sedang bertarung dengan dirinya sendiri. Kita akan melihat nanti, Jokowi versi universe yang mana yang benar-benar akan muncul di Pemilu 2024. Sejarah menantikan.
Diluar itu, saat ini bisa dikatakan partai Banteng Moncong Putih menjadi satu-satunya BENTENG TERAKHIR dari Partai Nasionalis yang Idealis. Partai-partai nasionalis yang lain lebih seperti klub sepakbola yang transfer pemain sesuai pelatih dan kapital yang ada.
Kekukuhan PDI-P dalam idealisme berpolitik memang memiliki kelemahan tersendiri dalam menghadapi generasi milineal dan z yang sangat pragmatis, kompromis, dan kurang idealis apalagi nasionalis. Tetapi, tanpa partai politik yang menjaga marwah Pancasila seperti PDI-P, maka bahaya yang lebih besar dimasa depan akan terjadi.
Dengan 83% anak SMA yang merasa Pancasila bisa dirubah (survey Setara Institute), bahaya NKRI itu sudah terasa. Amerika porak poranda dihajar Globalisme yang mereka ciptakan sendiri, sehingga nasionalisme di Amerika saat ini ada dititik nadir. Sementara itu, nilai-nilai konservatif Judeo-Christianity yang membebasarkan negara paman SAM ini telah diganti nilai-nilai radikal liberal LGBTQIA, dan agenda-agenda yang lain.
Bayangkan, Rusia dan China, dua negara yang notabene “komunis, dan atheis” justru melarang propaganda LGBTQIA. Artinya, Amerika sudah kebablasan. Dan semua dimulai dari partai politik Demokrat Amerika melalui Obama, Biden dan lain-lain yang mendukung liberaliasi maksimal Amerika.
Belajar dari realitas global ini, PDI-P memegang peran yang sangat penting untuk tetap menjaga nasionalisme yang Pancasilais. Dan PR-nya adalah bagaimana mengedukasi dan merangkul generasi baru Indonesia untuk memiliki nilai-nilai yang sama. Dan yang kedua, bagaimana PDI-P bisa merumuskan Nasionalisme yang Globalis.
Artinya, bukan Nasionalisme sempit yang menjadi chauvinistik. Dibutuhkan pemikir-pemikir baru bisa mengerti mengejawantahkan Soekarno di Abad Ke-21. Semoga Indonesia memiliki lebih banyak parpol ideologis yang lain, dan tidak terjabak pragmatisme kapitalis yang sangat kompromistik. Amin.
Pendekar Solo
Coretan Lain:
- Trinitas Politik Indonesia Terkini : PDIP, Jokowi, dan Ganjar Pranowo
- Masyarakat Indonesia Tidak Suka PENGKHIANAT!
- Hasil Rakernas Nasdem, Peta Politik 2024
- Posisi Strategis PDI-P Untuk Indonesia Baru
- Papua, Keluarga NKRI