Keanehan Logika Politik : Menerima Prabowo, Menolak Anies

Dukungan Jokowi terhadap Prabowo tidak bisa disangkal membawa penguatan elektabilitas Prabowo. Terlihat relawan Projo (Pro Jokowi) yang bisa disebut menjadi wajah militan relawan Jokowi terlihat main mata dengan Prabowo dan KIB.  Meskipun tidak mau disebut Prowo (Pro Prabowo) dan berdalih “Tegak Lurus Kepada Jokowi”, sikap politik Projo telah membelah suara nasionalis.

Menariknya, baik Projo, Relawan GP, bahkan sampai Gibran pun dengan tegas menolak Anies. Hal ini menarik untuk dicermati. Karena 2014, 2017, dan 2019 antitesa Jokowi adalah Prabowo, bukan Anies.  Anies baru masuk menggantikan Prabowo setelah 2017 karena Pilkada DKI yang sangat buruk itu.

Mengapa “dosa politik” Prabowo yang demikian berjibun (bahkan dimulai dari Orba), bisa begitu mudah seakan dilupakan, hanya karena “tegak lurus Jokowi”?  Apakah bangsa ini demikian pelupa?  Dan secara logis, penolakan terhadap Anies, seharusnya juga penolakan terhadap Prabowo, Sandi, dan semua elemen yang menggoreng Politik Identitas.  Itu baru fair. Tapi mungkin politik tidak pernah bisa fair?  Unfortunately.

Usaha Jokowi untuk menghapus polarisasi dengan membawa masuk musuh politik seperti KMA, Prabowo, Sandi  kedalam pemerintahan adalah manuver politik yang dibutuhkan dan bisa dimengerti dan ditolerir to certain extent. Tetapi membuka jalan bagi mereka memegang kekuasan penuh di NKRI adalah blunder politik.  Untuk apa kita berjuang 2014, 2017, dan 2019 kalau akhirnya diserahkan “mereka-mereka”?  Doesn’t make any sense!

Opsi Prabowo untuk menjadi wakil sebenarnya adalah yang terbaik sehingga rekonsiliasi terhadap masa lalu bisa tuntas, tetapi jangan “nglunjak” (tidak tahu diri) dan ingin menguasai lagi.  Come one guys, apakah kita sebodoh itu.

Keadaan ini  membuat saya ingat perkataan dari sebuah kisah pemimpin yang pergi jauh dan melihat keadaan kota yang dipimpin sudah kembali lagi seperti sebelumnya. Akhirnya pemimpin itu mengatakan “Apakah engkau sebodoh itu hi “Indonesia”, mengapa kembali kepada masalah yang sama?” 

Kubangan, dan muntahan yang sama, akankah kita harus kembali kesitu lagi?  Tegak Lurus Ke Jokowi jadi tidak ada artinya dan mubazir, karena ketika mereka sudah sampai takhtanya, Jokowi sudah bukan siapa-siapa lagi.  Secara konsitutusi RI1 adalah pemegang kekuasaan tertinggi, dan khusus di Indonesia, kekuasaan Presiden sangat teramat kuat.  Yakin Prabowo mau mendengar Jokowi saat itu? Itu mimpi disiang bolong.  Tidak mungkin terjadi.

Pendekar Solo

Coretan Lain:

Please follow and like us: