Peran PDI-P Dalam Keberhasilan Jokowi

Kampanye “Tegak Lurus Jokowi” yang sangat kuat digaungkan Projo terasa sekali berbau Prabowo dan Golkar.  Bahkan tak malu-malu ketua Projo mengatakan siap mendukung Prabowo asalkan apa kata Jokowi, katanya (sumber).  Perilaku kelompok relawan rasa parpol ini adalah sebuah anomali politik yang perlu dicermati lebih dalam.

Disatu sisi, kelompok relawan ini mampu membuka kebuntuan politik yang selama ini dikuasai parpol.  Sejak munculnya Jokowi-Ahok 2012, maka blok relawan ini menjadi oase bagi masyarakt awam untuk berpolitik praktis tanpa harus diikat dalam keanggotan parpol. Tetapi, ternyata disisi lain kelompok relawan yang sudah menguat karena dipelihara seperti Projo tersebut tidak ada ubahnya menjadi parpol.

Relawan-relawan silent majority yang tidak mau terikat dengan parpol, tidak mau juga terikat dalam kelompok seperti Projo.  Projo dianggap menjadi menjadi bentuk lain dari Parpol.  Dengan cairnya para relawan untuk ke kanan dan ke kiri, maka relawan-relawan ini tidak memiliki ideologi yang jelas.  Hanya mendasarkan kepada kepentingan tokoh yang dibela.  Dan ini berbahaya.

Meskipun saat ini Jokowi dapat menguasai Projo, tapi dengan gampang apabila ada bohir lain, maka Projo dapat menjadi ProWo, atau ProNies, selama itu ada persamaan kepentingan. Secara de-fakto, Projo sudah menjadi “parpol.”

Trias Politika adalah kunci keberhasilan negara demokrasi.  Eksekutif, Yudikatif, dan Legislatif harus berjalan bersamaan.  Keberhasilan Jokowi selama 10 tahun yang mencapai hampir 80% kepuasan publik, TIDAK DAPAT dilepaskan dari peran PDI-P.  Bukan hanya pencalonan, dan memberi tiket, tapi PDI-P “menjaga” Jokowi di legislatif.

Suka atau tidak suka, Puan sudah mengambil posisi yang tepat.  Tandem Jokowi-Puan ini yang sebenarnya menakutkan lawan politik Jokowi.  Sehingga mereka selalu dibentur-benturkan.  Bahkan PSI yang dihantam PDP-P tiba-tiba juga ikut-ikutan memakai tag line “Tegak Lurus Jokowi” seperti Projo.  Bau manuver politik pecah belah justru harus dicurigai.

Konsep yin yang, plus minus dalam elektro, mirip dengan konsep legislatif – eksekutif.  Kedua pihak ini bersama, tapi harus berlawanan saling menjaga dan menyeimbangkan.  Prinsip inilah yang masyarakat awam kurang pahami.  Tanpa PDI-P bukan hanya Jokowi (atau siapapun presidennya) tidak akan ada pendukung, tapi sekaligus tanpa penyeimbang di legislatif. Power tends to corrupt, absolute power will create absolute corruption!

Soekarno, Soeharto jatuh karena keabsolutan itu.  Jokowi atau siapaun juga dapat jatuh apabila sudah tidak ada kontrol.  Check and Balance adalah sebuah keniscayaan dalam kehidupan ini.  Sebab itu keberhasilan Jokowi dan PDI-P adalah satu paket yang tidak terpisahkan.

Sebagai pemikiran akhir, misalkan Jokowi menunjuk Prabowo di last minute.  Dan Projo gegap gempit menyambut.  Belum tentu menang, belum tentu kalah.  Tapi akan duel dengan PDI-P dan Ganjar.  Luka akan terjadi. Dalam setiap peperangan semua bisa terjadi.

Anggap Prabowo yang menang.  Kompensasi apa yang diberikan ke Jokowi oleh Prabowo, mengangkat menjadi menteri? Itu tidak mungkin.  Mendukung Gibran? Ok, memangnya PDI-P mau memberi tiket Gibran ke Jateng1 apabila duel Ganjar – Prabowo terjadi dengan Jokowi dipihak yang berseberangan dengan PDI-P.  Saya tidak yakin.

Bila skenario buruk itu terjadi, pertempuran Trah Jokowi vs PDI-P akan menjadi lama. Akibatnya, Gerindra akan menguat dan dengan segera semua eks-orba akan merapat.  Maka lahirlah era Neo-Orba yang selama ini Reformasi perangi akan lahir lagi. Ironis bukan? Yang punya mata biarlah melihat, bahwa ada politik memecah belah yang sedang dijalankan. Waspada.

Sebagai sebuah kesimpulan,  “Tegak Lurus Jokowi” justru adalah upaya pihak-pihak lawan oposisi Indonesia Baru yang digawangi Jokowi-PDI-P.  Sebagai “relawan lepas” saya tetap mendukung Indonesia Baru dan semua pihak yang masih menghidupi nilai-nilai itu.  Kata kuncinnya adalah LANJUTKAN, bukan gantikan!

Pendekar Solo

Coretan Lain:

Please follow and like us: