Recep Tayyip Erdogan, atau dikenal sebagai Erdogan menang pemilihan Turkiye (28/5). Ini berarti tiga kali Erdogan menang pemilu. Yang mengherankan, kemenangan atas nasionalis modern Kemal Kilicdaroglu yang sangat tipis terjadi disaat Turkiye mengalamai krisis ekonomi hebat.
Anomali kemenangan Erdogan yang selalu “bermimpi” menjadi Ottoman Modern memperlihatkan bahwa propaganda kampanye hiperbolis adalah cara yang paling efektif untuk membodohi masyarakat. Dalam pemilihan yang demokratis, motivasi pemilih tidak penting, masing-masing suara dihitung setara. Itulah sebabnya terjadi money politics, dan propaganda. Memainkan emosi pemilih inilah yang menjadi kerjaan para strategis, dan tokoh intelektual.
Dalam konteks Erdogan, dia memainkan emosi rakyat dengan mimpi-mimpi hiperbolis kembalinya kejayaan Turkiye, dan menempatkan diri sebagai reinkarnasi Ottoman, rakyat Turkiye pun “terpesona” dan “terbodohi” dalam waktu yang bersamaan.
Anehnya, kemenangan Erdogan dipuja-puja oleh masyarakat dan politisi Indonesia, terutama dari pendukung Prabowo & Anies. Secara ideologis, hal ini memperlihatkan bahwa ada kesamaan pola ideologis dan pragmatis diantara mereka. Prabowo meskipun merubah gaya kampanye, dan mengekor Jokowi, tetapi tidak bisa dipungkiri Prabowo adalah Anies dalam bungkusan yang berbeda.
Gaya hiperbolis, propagandis, dan manipulatif menjadi kunci adalah kemenangan Erdogan. Rakyat dibuai dengan sebuah realitas politis yang maya, dan lupa bahwa resesi, inflasi, dan carut marut Turkiye disebabkan oleh kepimpinan Erdogan.
Kubu Prabowo bergembira karena umur Erdogan 69th yang sudah sepuh bisa memperlihatkan bahawa anak Sumitro yang mungkin sejak kecil sudah punya cita-cita jadi Presiden juga masih bisa menang, dan layak jadi Presiden. Dipihak Anies, yang memang sudah lama membranding diri sebagai kelompok islam politik, melihat kemenangan Erdogan adalah kemenangan ideologis melawan Kemal yang dianggap lebih kiri. Keduanya Klop.
Kebalikannya dari pihak Ganjar dan PDI-P, bahkan PPP terlihat tidak begitu mempolitisasi kemenangan Erdogan sebagai alat kampanye. Karena memang platform politik dan agenda yang berbeda. GP masih terlihat melakukan konsolidasi internal dan pergi ke semua titik-titik PDI-P dan PPP dengan gaya yang tidak berubah. Menemui rakyat, makan, guyonan, lari-lari, dan menggunakan sosmed untuk berinteraksi langsung.
Pembelajaran Politik U/ Pemilu 2024
Rakyat miskin, dan tak teredukasi selalu jadi bahan politisasi, karena selalu ada dan gampang dibeli suaranya. Dengan bonus demografi, ditambah generasi nir sejarah yang mudah dibohongi karena tidak paham, dan tidak memiliki hubungan batin dengan kejadian-kejadian masa lalu, semakin besarlah elektoral yang bisa dipolitisasi untuk meraup suara halal tapi berbau haram.
Reformasi sudah 25 tahun, umur pemilih pertama 17 tahun, mereka hanya tahu dari buku-buku apa yang terjadi. Sementara para pelaku sejarah sebagian besar masih hidup, dan banyak saksi mata masih segar-bugar, tanpa segan dan malu cerita sejarah dipelintir kesana-kesini semua demi satu tujuan Presiden RI1.
Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah, apakah NKRI akan menjadi Turkiye yang lain? Yang hidup dari mimpi-mimpi politik yang tidak realistis, dan lupa bawa pembangunan & pembaharuan yang Jokowi kerjakan akan hilang ketika “Erdogan-Erdogan” ini naik takhta.
Rakyat Turkiye memilih tetap dalam kemalangan, demi Erdogan yang tersayang. Gempuran propaganda ala Erdogan sedang dilakukan secara terstruktur, sistematis, dan masif di underground. Apabila Indonesia tidak mau jatuh dilubang yang sama, para pemilih rasional harus mulai bangkit dan mengedukasi pemilih untuk bangun dari “sihir Erdogan.”
Pendekar Solo
Relawan Indonesia Baru
Coretan Lain:
- Penerapan Dialektika Hegel Pemilu 2024
- Hitungan Politik Jokowi : Ganjar atau Prabowo?
- Politisasi Rohingya Memperlihatkan Pertarungan Sebenarnya
- Rocky Gerung Memperlihatkan Realitas Pemilu 2024
- Blunder Kemarahan Prabowo Merusak Skenario Jokowi