Setelah terbongkarnya kasus Saracen yang telah menjadi “skandal nasional”, lawan politik Jokowi terus mencari celah untuk menghantam Jokowi. Hadirnya isu Rohingya seakan-akan menjadi jalan orgasme kebencian kelompok anti Jokowi.
Tidak main-main Fadli Zon, Fahri Hamza, Tifatul Sembiring, sampai FPI semua menekan pemerintah, bahkan candi Borobudur pun hendak didemo. Entah kegilaan politik apa lagi yang sedang di rencanakan mereka ini. Mendemo Candi? Come on man.
Meremehkan narasi “Jokowi anti Islam” seperti sudah terlihat dengan jelas sejak Jokowi – Ahok muncul di Jakarta Baru 2012 bukanlah hal yang tepat. Narasi ini telah mampu menjungkalkan, dan membui Ahok dengan memaksa Jokowi melepaskan benteng politiknya. Artinya, narasi ini akan terus dipakai sampai 2019.
Pilihan menggunakan narasi SARA ini adalah pilihan yang tidak bisa dielakkan. Karena pilihan lain seperti “Jokowi tidak mampu”, “Jokowi PKI”, sampai “Jokowi keturunan Cina” ternyata tidak begitu efektif menyalakan sumbu – sumbu pendek.
Tapi kalau sudah sentimen SARA, narasi menjadi liar, ganas, amoral, tapi sangat efektif. Bagi politikus, godaan menjala pemilih subyektif agama tidak bisa dilepaskan dengan mudah. Sebab itu agama mayoritas akan menjadi sasaran pertempuran para politikus untuk meraup suara.
Kita bisa mengatakan tidak nalar, tidak obyektif, tidak manusiawi, sampai bejar tak bermoral, tapi apakah mereka peduli? TIDAK, dengan huruf besar dan tanda seru yang banyak !!!!!! Mereka hanya perlu menang dan mendapatkan posisi yang diinginkan. Politikus bro, bukan negarawan. What more can we expect?
Pertarungan sebenarnya Jokowi di 2019, dan bangsa ini secara gambar besar terletak ditangan para pemilih subyektif agamis, selama mereka masih bisa “dibodohi” maka sekuat apapun Jokowi, Ahok, atau siapapun yang melawan arus kebodohan politik SARA ini akan kelibas.
Pendekatan Jokowi dengan Kaos dan Sepeda, yang menjadi puisi sindiran tidak lucu Fadli Zon, justru memperlihatkan betapa Jokowi mampu melihat pertempuran yang sebenarnya. Yaitu, pertempuran hati.
Rakyat memilihi Jokowi bukan karena dia gagah perkara dalam diplomasi dan politik, ataupun berhasil di kabinet kerja, ataupun karena infrastruktur yang terbukti benar-benar dibangun. Semuanya itu hanyalah bukti fisik yang bisa diperdebatkan para politikus bermulut nyinyir.
Yang benar-benar membuat rakyat memilih Jokowi, dan terlihat yang pro Jokowi semakin menguat sejak 2014 adalah Jokowi mampu memenangkan hati rakyat. Rakyat jatuh cinta kepada sosok Jokowi sebagai harapan dan pembaharu.
Narasi apapun akan mampu dipatahkan Jokowi, apabila dia tetap dalam track hubungan yang tanpa kepalsuan dengan rakyatnya.
Alias kata, semakin lawan politik Jokowi “neko-neko”(macam-macam, jw), semakin rakyat akan muak dan mengatakan go to hell untuk politisi lintah yang tega menggunakan tragedi kemanusiaan Rohingya untuk kepentingan politik.
Pendekar Solo
Coretan Lain:
- Wabah Persekusi Memperlihatkan Wajah Politikus Indonesia
- Kristen Tidak Mengenal Golput
- Siapa Menyandera Jokowi?
- Kejahatan Moral Politik SARA
- Daripada Selingkuh, Nikahkah Agama dan Politik!