Kejahatan Moral Politik SARA

Dalam hitungan hari, Ahok akan keluar dari penjara karena penistaan agama. Sejarah hitam Pilkada DKI 2017 tidak akan dengan mudah, atau mungkin tidak akan terhapuskan dalam sejarah Indonesia.

Pekatnya Politik SARA di Pilkada DKI 2017 melekat kepada sosok kontroversial, Ahok. Seorang yang diakui pekerjaannya, tapi tidak diakui eksistensinya, karena dia suku lain, dan agama lain dari mayoritas negara ini.

Fakta menyedihkan ini semakin membuat Indonesia semakin was-was, karena notabene, simbol perlawanan terhadap nasionalisme Pancasila justru dilakukan orang dua politikus muda Anies & Sandi. Dua politikus muda yang diharapkan membawa kebaruan dalam menenun kebangsaan, akhirnya harus jatuh dalam “kejahatan moral” Politik SARA.

Suara profetis palsu yang membangkitkan pasukan-pasukan tidur, dan robot-robot ideologis telah memunculkan pemimpin-pemimpin muda radikal lainnya, dan ini sangat memprihatinkan dan perlu diwaspadai.

Benteng ideologis PDI-P pun terseok-seok dalam menahan serangan politik identitas karena sudah ada di zona nyaman perpolitikan. Munculnya PSI yang langsung menembak isu-isu ideologis seperti Perda Syariah, poligami, sampai kepada award Hoax mau tidak mau menarik perhatian kita semua. Masih ada harapan.

Nahdlatul Ulama (NU), disisi lain, masih menjadi harapan Indonesia untuk menjadi benteng utama ideologi Pancasila. Dengan paham Islam Nusantara, NU mampu dengan luar biasa memformulasikan nasionalisme Islam yang bisa dipahami lintas agama, seluruh WNI.

Bagaimana dengan agama lain? Terlihat takut, dan ragu-ragu dalam berbangsa. Menjaga “bentrok” dengan mayoritas, membuat agama-agama lain terlihat hanya mengikuti arus pertempuran ideologis teologis yang terpapar dengan jelas di perpolitikan Indonesia.

Perlu dicatat, keputusan Jokowi-Amin untuk memakai baju Koko dan Peci sebagai simbol-simbol pemimpin agama dalam Pilpres 2019 memperlihatkan bahwa ternyata Pilkada DKI 2017 telah membawa dampak parah sampai ke akar rumput. Jokowi-Amin hendak menuntaskannya.

Rusaknya mental anak-anak muda dengan politik SARA sehingga melupakan mimpi bersama Indonesia yang ramah untuk semua agama adalah sebuah kejahatan moral yang harus dicatat dan diingatkan kepada anak cucu kita.

Rekonsiliasi Tidak Bisa Ditawar

Kiai Maruf Amin awalnya menjadi sebuah tanda tanya besar di kubu Jokowi. Tapi sekarang terlihat semakin jelas, KMA memiliki peran penting untuk menjadi Bapak bagi robot-robot ideologis yang sudah bangkit dan hendak digunakan begundal-begundal politik untuk meraih kekuasaan.

Mulai dari KMA justru ada pintu terbuka untuk membangun jembatan yang menenum kembali mimpi Tenun Kebangsaan.

Usaha-usaha untuk rekonsiliasi bangsa harus dimulai sedini mungkin, bahkan dilevel-level SD-SMP-SMA wawasan nasionalisme kebangsaan harus segera diupayakan.

Karena dalam Pemilu 2024, dan 2029 apabila tidak berhasil dijinakkan, kemenangan Jokowi-Amin di 2019, keberhasilan pekerjaan mereka nantinya, akan dinafikan, dan bahkan dihancurkan kembali.

Pertanyaan seorang teman, “Siapa yang tidak mau kekuasaan?” Pada akhirnya pertanyaan itu dapat dijawab dengan jelas, agama telah digunakkan untuk meraih kekuasaan. Mereka hanya ingin kekuasaan. Jahat sekali!

Penulis : Hanny Setiawan

Coretan Lain:

Please follow and like us: