35 Tahun Menjomblo, 11 Tahun Menikah: Beberapa Catatan Penting

Tidak terasa 11 tahun telah berlalu. 26-27 Jui 2007 di Gereja Bethany Solo Baru, dan di Diamond International Resto, selama dua hari melalui peneguhan dan perayaan pernikahan, saya resmi menjadi suami dari gadis cantik Yanty Yoyanto.

Setelah 35 tahun menjomblo dan 0 kali pacaran, tentunya sebuah “record khusus” yang selalu ditanyakan dan diulang-ulang kembali cerita jomblo pak pendeta :).

Membandingkan masa jomblo dan masa menikah tentunya tidak bisa apple to apple,  tapi paling tidak saya mencoba mencatat beberapa hal yang mungkin bisa berguna bagi yang masih mencari pasangan, ataupun yang sudah menikah.

Paling tidak, bagi saya pribadi, bisa menjadi sebuah tulisan refleksi yang bisa membantu untuk menjadi sebuah intropeksi bagaimana menjadi suami dan sekaligus seorang ayah yang baik dan benar.

So  there we go….

Catatan pertama. Menjomblo 35 tahun tanpa pernah pacaran adalah sebuah rekor tersendiri yang sampai sekarang selalu menjadi pertanyaan. Koq bisa, koq betah, apa benar-benar tidak pernah suka cewe, atau yang paling parah tidak homo kan? …please deh 🙂

Contenment adalah 1 kata penting yang perlu dicatat. Kata itu saya artikan sebagai rasa puas yang sepenuhnya, dan konteksnya dalam Tuhan.  Kepuasan hidup bukan didapatkan dari menikah atau dapat pasangan. Tapi karena ada Tuhan didalamnya.

Artinya, ada pasangan atau tidak, kepuasan akan Tuhan itu sudah final dan penuh. Dengan demikian, hubungan dengan pasangan tidak akan bisa mengurangi kepuasan itu. Tapi yang ada malah “ditambahkan” (Mat 6:33). Ada kebahagian, kepuasan, dan sukacita “tambahan” yang menjadi akibat dari menjalani hidup dengan pasangan yang tepat.

Sudah dong ya, itu penting dimengerti dulu sehingga catatan yang kedua jadi lebih asyik dibacanya ….. 🙂

Catatan kedua.  Sejak baptis 10 November 1985 sampai sekarang selama 32 jalan 33 tahun ikut Tuhan, pelayanan di gereja, dan keliling-keliling. Pertanyaan yang sering muncul adalah bagaimana prioritas antara sekolah dengan pelayanan, antara pasangan dengan pelayanan, dan yang lebih heboh antara keluarga dan pelayanan.

Masing segar dalam ingatan pernyataan-pernyataan:

  • Coba lihat aja nanti Hanny setelah kuliah apa masih bisa aktif dan bersemangat…
  • Coba lihat aja nanti Hanny setelah punya pacar apa masih berapi-api…
  • Coba lihat aja nanti Hanny kalau sudah bekerja apa masih seperti waktu pemuda
  • Coba lihat aja nanti Hanny itu kalau sudah punya keluarga masih bisa tiap hari mikirkan Tuhan tidak 
  • Dst…

Puji Tuhan semua pernyataan negatif tersebut sampai detik ini, karena kemurahanNya semua tidak terjadi, dan tidak benar. Dulu saya berapi-api, setelah punya pasangan semakin berapi-api, sekarang punya anak dua sudah gosong jadi item sehitam kali item Jakarta mungkin karena saking panasnya api dalam tulang-tulang 🙂

Dan kata yang penting dalam catatan ini adalah Calling atau panggilan. Pekerjaan bisa banyak, tapi panggilan cuma satu. Dalam Tubuh Kristus kita perlu mengerti dimana bagian kita. Itulah panggilan kita.

Ketika kita sudah mengerti dimana panggilan kita, maka dengan sendirinya sekolah, pekerjaan, dan pasangan hidup  harus menjadi satu bagian dengan panggilan itu. Itu sebab tidak ada cerita setelah pacaran berhenti, atau setelah menikah tidak mau melayani lagi.

Jadi begini guys and gals …

Berhenti mengerjakan panggilan dengan alasan melayani keluarga dulu bagi saya adalah kebohongan besar, bahkan fully bullshit….oops maaf ya agak vulgar.

Keluarga harus menjadi satu dalam panggilan yang sama dan tetap mengerjakannya sampai mati. Berapapun harganya!

Yosua 24:15 jelas memperlihatkan kita bahwa Yosua memilih tetap dalam panggilannya bersama keluarganya untuk menghidupi panggilanNya.

Bagaimana kalau keluarganya tidak mau?  Istri yang lebay, atau suami yang keras kepala?

Salah sendiri dinikahi…wkwkwk….itu biasanya jawaban saya bro/sis maaf ya..memang salah nikah itu sulit.  Salah pilih gubernur DKI aja sudah setengah mati, apalagi salah nikah :).

Ini membawa saya memberanikan diri memberikan catatan ketiga yang menggelegar.  Are you ready…?

11 tahun menikah saya cuma bisa mengatakan, “untung ga salah nikah” 🙂 Karena salah nikah itu saya tidak bisa membayangkan dampak psikologis apalagi rohaninya.

Panggilan yang berhenti karena pernikahan membuat ketidakpuasan dalam kehidupan.

Akibatnya, ketidakpuasan akan membawa kepada berbagai macam masalah hati, sampai kepada kepahitan dan kebencian kepada diri sendiri yang bisa di manifestakan ke orang lain (dengan meyalahkan orang lain).

Kata kunci dalam catatan ini adalah Continuity atau kesinambungan.

Bisnis, Musik, Teknologi, dan Teologi adalah 4 hal yang menjadi minat dan pergulatan ketika masih menjomblo, menikah sampai setelah Tiffany Chisari Setiawan (10 th) dan Giovanni Shekina Setiawan (3th) menjadi bagian dalam keluarga.

Tidak berhenti, tapi berkembang. Itu yang seharusnya terjadi dalam kehidupan kita.  Seperti benih, yang kemudian kuncup, kemudian tumbuh menjadi tanaman, sampai akhirnya berbuah, setiap fase kehidupan kita adalaah sebuah proses yang terus berjalan, tidak bisa dihentikan dan tidak bisa digantikan.

Jadi jelas ya all…

Menjomblo, menikah, dan punya anak bukanlah alasan untuk berhenti, berbelok, atau bahkan mundur dan murtad.  Justru semakin lama semakin manis seperti anggur di Kana.

… “Setiap orang menghidangkan anggur yang baik dahulu dan sesudah orang puas minum, barulah yang kurang baik; akan tetapi engkau menyimpan anggur yang baik sampai sekarang. (Yoh 2:10)

Happy Wedding Anniversary My Beloved Wife Yanty Yoyanto.  Thank you for the wonderful 11 years, and more to come.

Hanny Setiawan

Coretan Lain:

Please follow and like us: