Kegelisahan Akademis : Ketika Sains Menggantikan Roh Kudus

Saya tidak bisa menyebut diri scholar, meskipun suka belajar. Credential secara akademis saya tidak cukup atau belum bisa menjadi sebuah bukti bahwa pemikiran-pemikiran sudah teruji secara akademis.

Meskipun demikian, kalau disebut murni praktisi, mungkin perjalanan panjang intelektual saya membuat tidak dapat menyebut diri otodidak, dan murni praktisi juga.

Melihat track record, dimana SMP berdebat dengan guru agama, SMA bikin paper Trinitas, dan suka sekali menulis dan membaca, kecenderungan untuk jadi lebih “scholarly” lebih kuat daripada jadi praktisi apalagi oportunis. Mungkin sedikit terlambat, tapi arah menuju kesana sangat membuat saya bergairah.

IT, Musik, Bisnis, Teologi adalah 4 bidang yang saling bertumpukan dalam perjalanan akademis yang tanpa saya sadari membentuk pola pikir yang “agak berbeda” dari model-model tradisional. Diperkuat dengan jalur profetik yang saya pilih untuk memenuhi panggilan sebagai Pendeta, maka rekonstruksi sudut pandang atau teologis saya dalam melihat sebuah kebenaran adalah sebuah keniscayaan.

Soteriologi saya mungkin justru lebih dekat kepada theosis, daripada sesederhana justification of faith, meskipun saya juga merasa sangat Injili dan Reformed.

Eklesiologi saya sangat eukumenis, katholik, sekaligus holistik tetapi dari sudut pandang apostolik profetik yang bisa disebut neo-karismatik. Bahkan, banyak overlap pemikiran saya dengan new-orthodoxy Karl Barth.

Dan masih banyak logi-logi lainnnya yang saya lagi coba rekonstruksi ulang berdasarkan pengalaman-pemahaman rohani selama 37 tahun terakhir.

Setelah masa 37 tahun sejak baptisan air itu, menengok kebelakang, saya semakin meyakini bahwa teologi harus dimulai dari pengalaman bersama dengan Tuhan, yang kemudian bergulir dengan pemahaman.

Dinamika pengalaman dan pemahaman inilah yang membawa kepada kedewasaan rohani. Sehingga akhirnya bisa benar-benar menjadi murid Yesus, bukan murid Calvin, Luther, Karl Barth, dsb.

Teologi modern yang berdasarkan sains terjebak dengan keangkuhan intelektual dan kehilangan pijakan moral, dan pengalaman dengan Tuhan yang mau tidak mau bersifat supranatural.

Science Council mendefinisikan Science is the pursuit and application of knowledge and understanding of the natural and social world following a systematic methodology based on evidence.

Artinya, science murni itu sendiri mengakui bahwa hanya mampu mengambil kesimpulan dari apa yang sudah ada (terjadi, dan dialami) bukan dari yang tidak ada.

Sebab itu, teologi yang hanya berdasarkan eksegesis data yang dalam waktu dekat saya yakin bisa digantikan Artificial Intellifence, dan juga “berkompromi” dengan referensi-referensi yang sepaham sangat mungkin akan jatuh kepada kesimpulan-kesimpulan yang justru tidak selaras dengan “hati Tuhan”

Kegelisahan akademis ini semakin menjadi setelah saya semakin mencoba mengerti dunia pendidikan. Jurnal-jurnal akademis dari berbagai macam akreditasi level, buku-buku yang berat, linguistik, semuanya benar-benar memperlihatkan betapa dahsyatnya otak manusia.

Kehebatan otak dan intelektual manusia itulah yang justru menjadi sumber kegelisahan saya. Akankah akhirnya semua teologi menjadi murni logika, dan kehilangan nafas aslinya yaitu wahyu dari Tuhan itu sendiri? Perjalanan saya ternyata masih sangat dini untuk bisa menjawab ini.

Just Me,
Hanny

Coretan Lain:

Please follow and like us: