Indonesia : Mengutuk Israel, Mencintai Taliban?

Hampir dua tahun dunia ada dalam kabut pekat pandemi covid19. Pro-kontra antar science, iman,dan konspirasi sampai hari ini terus masih berlangsung. Penolak Vaksin masih banyak, penggila vaksing juga tidak kalah banyak. Penghina agama dengan mengatakan, “Mana TuhanMu?” semakin menggila, tapi disaat yang bersamaan, debat agama, dan orang-orang yang justru mencari Tuhan juga tidak sedikit. Intinya, dunia sedang bingung!

Para “pengamat” percaya, setelah kabut kelam ini dibuka, sebuah new normal sudah terjadi, alias the world landscape has changed! Dan saya percaya itu. Menunggu dari tepian kota Solo, menantikan Kabut itu diangkat. Dan 15 Agustus 2021, tiba-tiba dunia dihentak dengan berita, Kabul Afghanistan dikuasai Taliban, dan presiden Afghanistan melarikan diri dan menyatakan kalah. Padahal, Amerika masih belum semua keluar, dan selama pandemi tidak ada satu pun tentara yang gugur. Semua mata melihat kearah yang berbeda, dari covdi19 sekarang Taliban21 telah menjadi trendsetter yang baru. Dunia sudah berubah!

Perubahan begitu cepat. ISIS-K dimunculkan sebagai musuh baru di Afghanistan setelah bom bunuh diri meledak dan 13 marinir Amerika gugur (terbesar dekade ini), dan ratusan Afghanistan juga tewas. Biden yang lambat dalam evakuasi, ternyata cepat membalas dendam. Bom pun diluncurkan, perang terbuka kembali terjadi. Sebuah drama perang baru terlihat sedang diluncurkan, disengaja atau tidak, Biden Administration telah mencoreng nama Amerika, dan membuka pintu lebar terorisme dunia untuk bangkit. Dunia mulai bertanya-tanya, bagaima dunia setelah era Amerika?

Momentum adalah sebuah kesempatan atau kairos dalam bahasa Yunani. Sangat penting dalam bisnis apalagi politik. Indonesia merdeka 17 Agustus 1945 karena ada momentum dari bom Hiroshima dan Nagasaki. Munculnya “negara taliban” yang tanpa sungkan langsung mengganti nama Afghanistan menjadi Islamic Emirate of Afghanistan adalah sebuah momentum politik. Selamat jalan demokrasi, selamat datang “penjajahan agama!”

Seperti diperkirkan, hal ini membuka kotak pandora radikalisme diseluruh dunia. Termasuk di Indonesia. Tanpa sungkan, politisi-politisi lawan Jokowi mencoba menggunakan momentum ini untuk manuver. Bagi saya itu tak berhati nurani, tapi tetap masuk akal, karena mereka memang oposisi. Tapi ketika Menlu Retno “main mata” dengan Taliban di Doha, Qatar, saya terhenyak. Mau Kemana Indonesia?

Beberapa hal yang dibahas dalam pertemuan itu adalah Indonesia meminta Taliban agar tidak menjadikan Afghanistan sebagai sarang teroris. Tak hanya itu saja, Taliban juga diminta agar bisa mendirikan pemerintahan yang inklusif dan di dalamnya bisa menghormati apa yang menjadi hak perempuan. (Sumber)

Meminta teroris untuk tidak jadi sarang teroris. Meminta negara agama untuk jadi pemerintahan inklusif. Entah apa yang dipikirkan Menlu Retno, tapi semua hanya mimpi disiang bolong, omong kosong politik yang membuat kita berfikir masa depan Indonesia. Tagar #SavePalestina yang sampai dikampung-kampung, dan kutukan-kutukan kepada Israel sebagai “negara penjajah” membuat saya terus merenung untuk Indonesia, negeri tercinta kita. Begitu bodohkah kita, sehingga kita memilih mengutuk Israel, dan mencintai Taliban demi #SavePalestina? Apakah Jokowi akhirnya akan jatuh dan memilih Taliban sebagai partner global Indonesia? Indonesia butuh kasih karunia!

Cina, Rusia, Iran, Turki segera bergerak dan mendukung pemerintahan Taliban. Tidak perduli berapa yang gugur, dan tewas, siapapun tangan kotor dibelakang ini semua memiliki agenda yang jelas, global chaos sehingga “mereka” bisa menjual global solution : senjata, obat, dana, dan sebagainya. Pada akhirnya doktrin teologi para radikalis ini bukan mengganyang minoritas saja, atau memaksakan agama mereka saja, tapi yang terutama adalah agenda melenyapkan Israel dari peta dunia. Karena itu ajaran agama mereka yang terutama.

Alignment antara Cina, Rusia, Iran, dan Turki dengan Taliban akan membawa mereka kepada common enemy. Bukan Amerika lagi, karna Amerika sudah jatuh. Tapi Israel. Dan Indonesia harus memilih pada akhirnya, kepada siapa Indonesia akan berpartner. May God give Jokowi wisdom and boldness to reject Taliban government in Indonesia. A hope. a wish, a dream, or a daydream?

Hanny Setiawan
Relawan Indonesia Baru

Coretan Lain:

Please follow and like us: