Manuver politik Donald Trump menyatakan Yerusalem sebagai ibukota Israel, sekaligus memastikan akan memindahkan kedutaan besar Amerika dari Tel-Aviv ke Yerusalem mengejutkan seluruh dunia, baik yang pro maupun kontra. (7/12/2017).
Yerusalem, kota kuno yang dianggap suci bagi tiga agama besar Yahudi, Kristen, dan Islam seakan memenuhi destiny-nya untuk selalu menjadi pusat politik dunia yang sexy sejak ribuan tahun yang lalu.
Israel adalah negara unik yang secara bahasa, agama, ras, suku, sampai bangsa terintegrasi menjadi satu kata, yaitu Yahudi atau Jews. Mereka memiliki agama Yahudi, bahasa Yahudi, ras Yahudi, sampai yang terakhir adalah Israel yang dianggal bangsa Yahudi (meskipun kenyataannya, bangsa Israel modern tidak semua Yahudi sekarang ini).
Jadi secara natural, semua yang melibatkan Israel akan selalu bernuansa agama, budaya, sekaligus politik, tidak bisa dipisahkan.
Hal ini perlu dimengerti supaya dalam menganalisa politik di Israel (apapun isunya) tidak gampang “dibodohi” para politikus yang memang hanya memiliki kepentingan politik, bukan kepentingan kemanusiaan ataupun menjalankan perintah agama. Hanya kebohongan dan retorika politik, demi kekuasaan sesaat, yang ujung-ujungnya adalah mamon.
Kristen, Yahudi, Islam : Persamaan dan Perbedaan
Yahudi, Kristen, dan Islam adalah tiga agama yang memiliki akar sejarah yang sama. Dan salah satu akar utamanya adalah Bapak Abraham atau Nabi Ibrahim. Dari dialah lahir bangsa-bangsa sesuai yang dijanjikan Tuhannya Abraham.
Jadi sebenarnya secara logika sederhana, seharusnya Tuhannya Ibrahim adalah Tuhan yang dipercaya Yahudi, Kristen, dan Islam, karena ketiganya secara historis mempercayai sosok Ibrahim ini. Belum lagi, kalau kita telusur ke Musa, dan Daud, maka kita menyadari ada kesamaan yang tidak bisa dihilangkan begitu saja.
Kesamaan ini seharusnya yang harus menjadi poin dialog dari ketiga agama untuk belajar hidup damai bersama sebagai “keluarga Ibrahim”, bukan perbedaan yang jelas ada setelah Isa Almasih atau Yesus Kristus, dan Nabi Muhammad.
Fokus kepada perbedaan hanya akan membuat keuntungan para politikus untuk menggunakan isu yang ada dan selalu membenturkan para pengikut disaat dibutuhkan. Para pengikut sejati agama Samawi harus melawan dan menolak para politikus SARA ini.
Kristen Bukan Yahudi
Dalam polemik Israel Palestina, frame politik yang terjadi adalah Israel itu Yahudi-Kristen, dan Palestina itu Islam. Ini adalah frame yang secara logis memang mudah dipilih para politikus untuk meraup suara dari para fanatik agama.
Disini pentingnya dimengerti bahwa Kristen dan Yahudi bukan agama yang sama. Tapi memang Kristen mengakui bahwa iman Kristen berakar dari kepercayaan Yahudi. Sebab itu Kristen sering disebut Judeo-Christianity. Disinilah kemudian terjadi celah politik yang gampang digunakan para politikus untuk framing sesuai kepentingan mereka.
WNI Kristen tidak bisa serta merta ikut “mengutuk Israel” karena memang iman Kristen tidak diajar untuk mengutuki, tapi memberkati. Di lain pihak WNI Kristen, tidak mungkin membenci Palestina, karena Kristen percaya segala suku, kaum, bahasa, dan bangsa itu adalah milik Tuhan. Tuhan cinta segala bangsa!
WNI Kristen memiliki pandangan dunia (worldview) yang paradoks antara Ilahi dan humanis. Hukumnya orang Kristen, bukan hukum pedang, tapi hukum Kasih, yang secara eksplisit dinyatakan langsung oleh Yesus Kristus, tokoh sentral Iman Kristen.
Mat 22:40 Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi.”
Inilah sebabnya Kristen diajar untuk selalu menghormati pemerintah (Rom 13) dan menjadi Garam dan Terang dimanapun berada. Agen perubahan dan perdamaian diseluruh dunia, bukan agen politik, teroris, dan penyebar kebencian.
WNI Kristen memberkati Israel dan Palestina, itulah yang seharusnya dilakukan. Secara politik dan negara, WNI Kristen tunduk dan menghormati langkah politik yang diambil Presiden Jokowi yang pasti untuk kepentingan perdamaian antara Israel-Palestina.
Secara teologis, pandangan Kristen terhadap Israel pun bermacam-macam ada yang percaya Israel tetap bangsa pilihan, ada yang tidak lagi percaya. Jadi, pandang teologis tidak bisa dipakai acuan dalam bernegara, tapi masing-masing WNI Kristen dapat simpan sebagai iman pribadi.
Lalu bagaimana terhadap Donald Trump, dan Amerika? WNI Kristen pun harus memberkati Donald dan Amerika. Sekali lagi, pengikut Kristus tidak didesain untuk mengutuki dan menyebar kebencian, tapi didesain untuk melakukan kehendakNya demi kepentingan kemanusiaan.
Secara Eskatologis, Iman Kristen percaya Kebhinekaan dibawa sampai ke surga. Segala suku, bahasa, kaum, dan bangsa adalah elemen-elemen yang Tuhan sendiri ciptakan dan akan disempurnakan menjadi “satu manusia baru” (Ef 2:15)
Sebuah Kesimpulan Praktis
Polemik Israel dan Palestina harus dilihat dari bingkai politik praktis. Donald Trump adalah pemimpin politik bukan pemimpin agama. Tidak ada “fatwa Trump”, yang dia lakukan adalah sesederhana manuver politik yang Jokowi, JK, Prabowo, Mega, bahkan Ahok pun lakukan sebagai politisi.
Agama harus terus dipandang sebagai kekuatan moral (moral power) bukan sebagai kekuatan politik (political power) sehingga benturan antar umat dapat dihindarkan. Pandangan teologis apapun yang dipunyai atas sebuah peristiwa politik, tetaplah pandangan iman yang harus tetap disimpan dalam koridor iman, bukan politik.
Pernyataan lama Dubes Palestina berikut bisa memperlihatkan poin pemikiran artikel ini dari sisi yang berseberangan (sumber):
Hanny Setiawan
Coretan Lain:
- Dua Orang Yahudi : Yesus dan Yudas
- Saran Ganjar Untuk Duduk Bersama, Mereview Posisi Israel – Indonesia
- Tuduhan Kristenisasi Propaganda Murahan Politikus SARA
- Mengartikan Kepergian Ratu Elisabeth
- Psikologi Pemilih