Memilih Presiden Indonesia 2024 (1)

Pemilu (pemilahan umum) adalah momentum terpenting dalam demokrasi.  Melalui pemilu, pemimpin, wakil rakyat dipilih untuk melanjutkan cita-cita bangsa. Dalam konsep Imagined Community, sebuah bangsa lahir karena memiliki cita-cita luhur yang sama.  Dengan adanya pemilu, maka akan ada selalu feedback yang berkesinambungan yang diharapkan menjadi penjaga demokrasi itu sendiri.

Pemerintah dan DPR sudah menyepakati penyelenggaraan Pemilu 2024 akan digelar tanggal 14 Februari 2024 dan pemilihan kepala daerah (Pilkada) diselenggarakan pada 27 November 2024. Artinya, 2024 menjadi tahun penting bagi Indonesia untuk menentukan nasibnya (Sumber).  Tidak heran pula, parpol-parpol sudah mulai bergerak, bacapres-bacawapres sudah mulai bergenit ria kesana-kesini.

Bagi orang politik, kekuasaan adalah segalanya.  Sehalus apapun mau berkilah, kita semua tahu bahwa posisi adalah periuk makan yang harus terus dijaga.  Para politikus yang berkarir lebih dari 10th, apalagi lebih dari 1 dekade, sudah pasti tidak akan mampu lagi bekerja/berusaha secara normal, karena tiap bulan mereka sudah dapat gaji, bonus, juga “dan lain-lain”.  Kerja apa yang bisa dapat keuntungan sebesar gaji anggota DPR, menteri, dsb?

Pemilu 2024 semakin memiliki arti penting bagi Indonesia secara khusus.  Berakhirnya 10th masa jabatan Jokowi membuat bangsa ini ada dalam persimpangan lagi.  Akankah berlanjut proses perubahan yang sudah dikerjakan Presiden ke-7 Indonesia ini, atau akan berbelok?  1965 ketika Soeharto mengambil paksa Indonesia dari tangan Soekarno, Indonesia berbelok. Sejarah berulang, 1998 rakyat Indonesia akhirnya mengambil alih lagi untuk meluruskan sejarah.

Dan sampai hari ini perjuangan itu masih terus ada. Karena jalur yang dipilih rakyat Indonesia adalah reformasi, bukan revolusi.  1998 Soeharto memang jatuh tapi struktur kepimpinan masih ada, dan sampai hari ini, orang-orang itupun masih ada.  Berbeda dengan 1965 yang berdarah-darah, 1998 meskipun juga berdarah, tapi tidak sebesar 1965, semua yang pro Soekarno dihabiskan. 1965 adalah masa kelam Indonesia, jutaan nyawa manusia yang hilang karena peralihan kekuasaan yang biadab.

Bagaimana Dengan Pemilu 2024?

Berita bagusnya, selama “orde reformasi” mampu menjaga stabilitas poleksosbud dengan baik. Meskipin demikian, ada catatan penting masa SBY 2004-2014, yaitu masa terinkubasinya benih-benih radikalisme yang ketika masa Jokowi 2014-sekarang sudah bertunas bahkan sudah berbuah.  Pemilu 2014, Pilkada DKI 2017, dan Pemilu 2019 membuka semua topeng politik masa SBY yang ternyata sangat memprihatinkan.

Sebab itu, setelah Jokowi, Indonesia membutuhkan sosok yang mampu menarik garis dengan ideologi radikalisme.  Ini adalah syarat utama. Karena ideologi adalah sesuatu yang mendasar dalam imagined community.  Apabila ideologi itu dirubah, maka sebuah negara bangsa sudah tidak bisa disebut negara yang sama lagi.  Dan hal ini bisa menimbulkan pertumpahan darah yang bahkan bisa lebih besar dari 1965, dan diintegrasi bangsa. Tamatnya NKRI 1945.

Pemimpin yang menghidupi nilai-nilai Nusantara adalah pemimpin yang akan mampu berdiri berhadapan dengan ideologi radikalisme. Isu polarisasi yang dimunculkan adalah cara untuk merangkul pemilih-pemilih abu-abu. Tapi Nusantara memang tidak bisa dan tidak mungkin menjadi satu dengan radikalisme.  Nusantara itu adalah bhinneka tunggal ika.

Jadi isu polarisasi  justru adalah teknik politik berbahaya yang harus diawasi. Kita membutuhkan pemimpin yang jelas ideologinya, bukan yang abu-abu, apalagi jelas-jelas pro radikalis.

Konsep Islam Nusantara dapat digunakan sebagai sebuah indikator awal untuk memfilter siapa pemimpin yang layak melanjutkan Jokowi.

Beberapa pemikir Muslim mengemukakan gagasan mereka. “Islam Nusantara ialah paham dan praktek keislaman di bumi Nusantara sebagai hasil dialektika antara teks syariat dengan realitas budaya setempat.” (Muhajir dalam Sahal & Aziz, 2015: 67). “Islam Nusantara adalah Islam yang khas ala Indonesia, gabungan nilai Islam teologis dengan nilai-nilai tradisi lokal, budaya, adat istiadat di tanah air.” (Bizawie dalam Sahal & Aziz, 2015: 239). (Islam Nusantara, Why Not?sumber)

Tentunya indikator ini bukan satu-satunya, tapi paling tidak membantu kita untuk memilah mana yang masih percaya akan nilai-nilai luhur nusantara, mana yang tidak. Apakah hal ini berarti kita harus mulai memperhatikan “keimanan” dari para calon? Jawabannya adalah ya.  Karena keimanan ini melekat kepada ideologi yang dipercaya.

Kalau Pancasila sudah dianggap haram, apakah kita akan memilih pemimpin Indonesia seperti itu? Atau kalau demi menjadi Presiden, seorang calon yang “melacurkan diri” dengan kelompok-kelompok yang mengharamkan Pancasila, Merah Putih, Bhinneka Tunggal Ika, sampai kepada budaya-budaya nusantara masih layak untuk dipilih sebagai pemimpin NKRI?

Singkatnya, ini waktu bagi Indonesia untuk “pulang” ke rumah bersama yang disebut, Nusantara.  Tidak kebetulan, di masa Jokowi Indonesia memiliki ibukota yang baru yang disebut Nusantara. Welcome Home, Indonesia!

Pendekar Solo

Coretan Lain:

Please follow and like us: