Selalu ada pelangi setelah hujan, masih ada kupu-kupu setelah ulat dan kepompong. Artinya, selalu ada berkat dalam setiap peristiwa yang paling buruk pun.
Pilkada DKI sudah hampir sampai titik final, dari dua kubu sudah terasa kelelahan batin, raga, sampai kepada dana. Dari kecapaian politik SARA, Pilkada DKI telah membuka mata kita bahwa bahaya radikalisme sudah masuk siaga satu.
Anies-Sandi terlihat sudah “mentok” dalam bermanuver untuk mencari dukungan, terutama Anies. Pemilih inti Anies (core votter) yang pada awalnya overlap dengan pemilih Ahok, sekarang ini sudah tidak ada lagi gaungnya. Yang ada hanyalah sisa-sisa robekan tenunan yang entah kapan bisa terajut kembali, itupun apabila mungkin.
Sandi kehabisan modal dana, Anies kehabisan modal sosial. Nama baik keduanya semakin hancur, dan hanya Tuhan yang tahu sampai titik nadir mana mereka akan meluncur. Ataukah ini sudah menjadi akhir karir politik mereka apabila kalah di Pilkada?
Pidato kebangsaan Anies terakhir di TV One mempelihatkan bahwa Anies Rasyid Baswedan sudah kehabisan barang dagangan untuk dijual. Aura negarawan yang biasanya muncul, sekarang ini sudah hilang.
Bukan soal DP 0%, KJP+, penggusuran, atau reklamasi yang membuat Anies-Sandi ditinggalkan pemilih inti. Tapi perselingkuhan politik dengan kelompok radikal membuat Anies-Sandi harus menelan pil bunuh diri.
Radikalisme telah membangkitkan para pemilih rasionalis dan bhinneka untuk mendukung Ahok-Djarot berapapun harganya. Trend H-11 mengarah kepada “Asal Bukan Anies” yang merupakan pembalikan keadaan dari Asal Bukan Ahok yang para haters coba nge-frame.
Setelah GP Ansor yang dengan tegas mendukung Ahok karena tidak mau mendukung Cagub yang didukung kelompok radikal, Buya Syafii kembali bersuara lantang untuk melawan radikalisme yang dia sebut sebagai “Teologi Maut”
Syafii Maarif alias Buya Syafii, yang adalah juga mantan ketum pimpinan pusat Muhammadiah ini tidak main-main dengan pernyataannya. Bahkan diberitakan dia mengirim pesan singkat kepada Kapolri supaya negara tidak kalah dengan radikalisme.
Tongkat otoritas Buya Syafii sebagai ulama berhaluan Islam Nasionalis dan Muhammadiah adalah tongkat yang sangat berpengaruh di perpolitikan Indonesia. Dengan kata lain, secara politik, Anies-Sandi sudah tersudut ke pinggiran jurang.
Gerindra sebagai partai berbasis kebangsaan yang memiliki jaringan nasionalis pun ternyata sudah sampai titik nadir. Ketika Rita Tiara Panggabean dari organisasi sayap Gerindra, Kira (Kristen Indonesia Raya) mencoba menggoreng gereja, yang didapat malah antipati yang lebih.
Keponakan Prabowo dan juga putri Hasyim Djojohadikusumo , Rahayu Saraswati, yang beragama kristen ketika muncul di Mata Najwa dengan Pandji sebagai timses Anies-Sandi ternyata juga tidak memiliki kekuatan politik yang cukup untuk mengangkat Anies-Sandi.
Sarah, nama panggilan Rahayu, justru keceplosoan dengan menuduh pendeta-pendeta DKI kampanye mendukung Ahok di mimbar. Sebuah blunder politik yang memperlihatkan betapa masih hijaunya Sarah. Sentimen negatif dari kelompok Kristen di trigger karena ulah mereka sendiri.
Seluruh elemen kebangsaan yang bhinneka, dan nasionalis baik muslim maupun non-muslim sekarang ini mulai secara terbuka mendukung Ahok-Djarot. Bukan karena mereka 100% cocok dengan Ahok-Djarot, tapi karena radikalisme sudah dianggap sampai level berbahaya.
Siaga satu radikalisme ini terus harus dicanangkan bukan hanya di Pilkada DKI 2017, tapi paska 19 April 2017, karena setelah ini mereka akan membidik Jokowi di pilpres 2019. The clash of two kingdoms has started. Dimana kita berpihak? Negara Pancasila atau Negara Agama?
Pendekar Solo
Coretan Lain:
- 19 April 2017 Akan Memperlihatkan Wajah Indonesia
- GP Ansor Mendukung Ahok, Pertanda Anies Melewati Batas
- Bagaimana Perasaan Ahok Hari Ini?
- Jokowi, Ahok, dan Anies : 10 Tahun Perjalanan
- Politik Toleransi Gibran Melawan Politik Identitas