Mas Wali Gibran sudah berhasil keluar dari framing “anak Jokowi.” Sampai Anies pun tergopoh-gopoh harus “sowan” ke politisi seumur jagung, yang memang dapat previlege sebagai anak Presiden.
Ketika awal kampanye “melompat” Gibran belum menemukan format dan posisi sudut yang mantap untuk branding politiknya. Tapi setelah hampir 2 tahun, Gibran menemukan ritme politik yang mampu mengukuhkan eksistensi dia tanpa harus mengekor Jokowi.
Saya menyebutnya Politik Toleransi. Ketika dengan berani dia pasang badan untuk “Natalan di Balaikota”, menurut saya manuver politik dia ini mengukuhkan posisi branding Gibran sebagai Pemimpin Toleran.
Posisi ini sangat penting, karena Jokowi-Ahok adalah simbol perlawanan dari radikalisme, dan politik identitas. Kekuatan “dwi tunggal Reformasi” ini masih sulit dikalahkan. Karena bukan hanya, mereka sebagai simbol toleransi, tapi juga bersih, transparan, dan profesional.
Realitasnya setelah Jokowi-Ahok rakyat semakin melek APBN dan APPB sampai Hibah, dan Boti karena ternyata sumber maksiatnya semua ada di anggaran-anggaran itu. Cukup dengan pembuktian terbalik dari semua hibah misalnya, sebenarnya gambar denah politik dapat dilihat.
Politik Toleransi yang dikembangkan Gibran ini menguntungkan Ganjar Pranowo karena dia yang paling vokal dalam hal ini. Berbeda dengan Anies, atau Prabowo atau yang lain yang memakai dua kaki dalam politik identitas.
2024 semakin mendekat, genderang sudah dibunyikan Surya Paloh dan kawan-kawan. Ini waktunya Relawan-Relawan NKRI sejati untuk mengawal.
Keep It Up, Mas Wali!
Pendekar Solo
Coretan Lain:
- Adakah Relawan Nol Rp?
- Dinasti Jokowi : Fadli Zon, Fahri Hamzah, Gibran, dan Bobby
- Prabowo Gaspol Pansos Jokowi
- Politik Identitas Yohanies Yang Menyesakkan
- Gibran, Sudah Layakkah Menjadi Walikota?