Gibran, Simbol Keberhasilan atau Kegagalan Alih Generasi?

Hari ini buku Indonesia sudah terbuka.  3 calon capres-cawapres sudah terdaftar.  Tapi baru 13 November 2023 penetapannya.  Dari semua nama yang masuk, Gibran, anak Jokowi, sampai hari pendaftaran masih menyisakan kontroversi hukum (dewan kehormatan MK), kontroversi etika partai (masih terdaftar PDIP tapi dicalonkan KIM), dan kontroversi moral politik keluarga dinasti.

Dari semua alibi justifikasi, Gibran dianggap sebagai perwakilan anak muda Indonesia. Menjadi kontroversi tersendiri, yang disebut “muda” it umur berapa.  Karena kalau dirunut, Sandiaga Uno pun masih termasuk muda ketika menjadi pasangan Prabowo 2019.   Ganjar, dan Anies pun termasuk generasi pemimpin baru Indonesia.  Perkataan Fahri Hamzah mungkin yang paling jujur, Gibran adalah Simbol.  Itu arti pentingnya.  Bukan kinerjanya yang diharapkan, tapi simbolnya.  Apakah artinya itu boneka?  Mungkin bahasa jawa memiliki kosa kata yang lebih halus adalah “Unthul Bawang”.

Selain keputusan MK yang menjadi persoalan inti polemik unthul bawang ini, terdapat pertanyaan penting yang harus diklarifikasi adalah apakah generasi muda berarti lebih baik?

Alih Generasi, atau Membunuh Generasi?

Sebab itu, menjadi pertanyaan kristis kita bersama untuk menelaah, apakah Gibran ini sebuah simbol keberhasilan atau kegagalan dalam alih generasi?  Momentum politik yang hingar bingar ini sangat bagus untuk membuka ruang diskusi publik soal ini.  Dalam konteks gereja, masyarakat, dan bernegara.

Argumen legal MK, Gibran adalah sosok berpengalaman.  2 tahun menjadi walikota Solo (1 periode pun belum), tetapi sudah termasuk berpengalaman. Dan keberhasilan membangun bisnis dan sekolah luar negeri, dan sebagainya.  Apakah model kepimpinan muda seperti ini yang disebut berhasil?

Dari pihak lain, Gibran dianggap sebagai sebuah simbol kegagalan alih generasi karena terlalu dini. Dan Gibran menjadi contoh yang sama dengan AHY, Ibas, Kaesang, dan banyak anak-anak previlige lainnya yang hanya mendompleng sana-sini keberhasilan orang tua.  Tapi apakah ini tidak cuma iri hati?  Kalau mampu mengapa tidak?  Begitulah kira-kira argumen-argumennya.

Bagi Jokowi & Iriana terlihat sekali Gibran, Kaesang, dan Bobby adalah anak-anak yang cakap dan berhasil.  Mereka terlihat bahagia sekali dalam setiap penampilannya. Mereka sedang menikmati kenikmatan kekuasaan, kekayaan, sampai keterkenalan.  Doa restu Bapak-Ibu kepada anak-mantu disertai dengan dukungan resources politik, dana, daya, jaringan, yang all out apakah ini memperlihatkan cara alih generasi yang benar?

Yang sudah terjadi justru sebaliknya, pembusukan nama baik dan kepercayaan terhadap Gibran, Kaesan, Boby dan generasinya terjadi dengan sangat masif.  Kematian sebuah generasi.  Menang atau kalah secara politis, mereka sudah dikotakkan sebagai politikus culas yang hanya memikirkan kepentingan diri sendiri.  Sebuah “kematian generasi” yang sangat tragis.

Moto Picek, Kuping Budhek

Nabi Sulaiman pernah memberikan wejangan, “Jalan orang bodoh lurus dalam anggapannya sendiri, tetapi siapa mendengarkan nasihat, ia bijak.”  yang artinya bahwa kita perlu mendengar banyak nasihat sehingga tidak tersesat.  Tapi seringkali mata kita sudah buta, telinga kita sudah tuli untuk melihat atau mendengar.  Dalam bahasa jawa moto picek, kuping budhek.

Pemimpin yang sudah merasa benar dan tidak perlu nasihat lagi adalah pemimpin yang paling berbahaya.  Semakin tinggi posisinya, semakin berbahaya.  Untuk mengatakan Gibran adalah sebuah simbol keberhasilan Alih Generasi kepimpinan nasional tidak bisa diterima secara rasional, moral, bahkan legal konstitusional.  Kebalikannya, bukan hanya membunuh kewarasan, diatas Gibran ada angkatan Ganjar, Anies, RK, Sandiaga Uno, Yenny Wahid, Gus Yaqut, Cak Imin, ET, dan banyak lainnya yang dianggap TIDAK KOMPETEN oleh Jokowi dan Prabowo sehingga membutuhkan Gibran untuk dipasang.

Berarti dari generasi Jokowi ke Gibran akan MEMBUNUH GENERASI X yang kebetulan itu generasi saya. Itu bagaikan Dari Abraham langsung ke Yusuf dan meniadakan Ishak/Ishmael bahkan Yakub.  Dan itu bukan alih generasi yang wajar, tetapi sebuah pembelokan sejarah. Skenario ini bisa terjadi apabila generasi diatas Gibran memang benar-benar tidak mampu dan tidak bisa.  Tapi fakta memperlihatkan persediaan kepimpinan bangsa yang saat ini mampu dan sudah masuk proses yang panjang begitu banyak, menafikan kehadiran mereka adalah sebuah kekejaman politis, sosial, dan personal tersendiri.

Generasi X yang sedang memimpin usaha, politikus, dan masyarakat akan bangkit dan mereka adalah pemimpin-pemimpin de fakto di lapangan.  Mereka tidak akan tinggal diam melihat generasi “Unthul Bawang” tiba-tiba meloncat dan mengakangi mereka.  Sebuah blunder politik yang dicatat tinta merah besar dalam sejarah NKRI.

Salam Demokrasi,

Pendekar Solo

Coretan Lain:

Please follow and like us: