Gibran, Sudah Layakkah Menjadi Walikota?

Gibran Rakabuming Raka (32 tahun) putra sulung dari presiden RI ke-7 Joko Widodo alias Jokowi menghentak perpolitikan Indonesia dengan manuver politik yang tidak disangka, mencalonkan diri menjadi walikota Solo.

Pria muda kelahiran 1 Oktober 1987 ini sejak awal Jokowi diangkat 2014 terlihat acuh, bahkan tidak menyukai politik. Masih hangat diingatan rakyat Indonesia, Gibran “melengos” di Istana sampai Jokowi terlihat harus menenangkan sang putra untuk berpose yang normal.

Setelah itu, Gibran dan sang adik, Kaesang, menikmati menjadi berita antimainstream dibanding anak-anak presiden terdahulu. Berbeda dengan anak-anak presiden terdahulu, mereka berdua terlihat asyik dengan bisnis catering, martabak, pisang dan lainnya.

Pujian kepada mereka berdua setinggi langit, dan tanpa sadar mereka mendapat berkah kepopuleran tersendiri. Kepopuleran di politik adalah modal awal untuk kontituen mengenal.  Jadi, ketika akhirnya tiba-tiba Gibran banting setir dan mulai memutuskan untuk terjun ke politik, dan langsung “uji nyali” melawan sang senior, FX Hadi Rudyatmo (Rudy) yang adalah ketua DPC PDI-P Solo, dan tokoh utama yang menemukan, mendukung, dan menjaga Jokowi mulai dari Solo – Jakarta sampai menjadi Indonesia 1.

Bahkan, kemenangan PDI-P di Solo dan Jawa Tengah tidak bisa dipungkiri karena begitu militannya Rudy di akar rumput.  Jadi, ketika Rudy mencalonkan Purnomo – Teguh lewat DPC, dan Gibran “melancangi” lewat DPD, sehalus apapun media menuliskannya, kita melihat pertempuran antar banteng tua dan muda tak terhindarkan.

Bagaimana Jokowi?

Bukan hanya Gibran, tapi Bobby Afif Nasution (Bobby) yang adalah menantu Jokowi disaat bersamaan juga mendaftar ke Golkar Medan untuk mengikuti kontestasi Walikota Medan (baca).  Artinya, Jokowi jelas merestui dan mungkin bahkan adalah mastermind dari manuver politik keluarga ini. Terlalu naif untuk mengatakan ini semata-mata karena keinginan Gibran dan Bobby.  Kehadiran ibu Iriana di hari pendaftaran Gibran di DPD Jawa Tengah jelas indikasi yang lain (baca).

Pro dan kontra bahkan kekecawaan dari pendukung Rudy, dan Jokowi mulai terlihat. Para aktifis relawan yang begitu bangga dengan keluarga Jokowi yang tidak berpolitik sedikit banyak jadi kekurangan amunisi untuk beradu status (twitwar atau fbwar) dengan para kampret atau kadrun. Karena tuduhan “podo wae” jelas tak terhindarkan.

Di pihak lain, para relawan dan pendukung Gibran dan manuver Jokowi jelas berfikir praktis. Jokowi terbukti bagus, dan menginginkan perubahan ini tidak berhenti. Majunya Gibran bisa menjadi sebuah sequel dari seri Jokowi sang harapan baru. Dan mungkin didalam hatinya Jokowi sendiri juga menginginkan bahwa pekerjaannya 10 tahun (setelah 2024) tidak sia-sia, dan dihancurkan lawan politiknya.

Apa yang terjadi di DKI paska Ahok jelas menakutkan kita semua. Anies dengan dinginnya memutar balikkan semua pekerjaan Ahok dan dalam 2-3 tahun hasilnya hampir tidak ada kelanjutan dari perubahan yang dilakukan Ahok. Hal yang sama bahkan lebih buruk bisa terjadi apabila 2024 tidak ada yang melanjutkan Jokowi. 10 tahun oposisi yang haus dan lapar dapat membuat Indonesia Baru menjadi Indonesia Ambyar.

Kebatinan Solo

Achmad Purnomo (70th) dan Teguh Prakoso (61th) yang diajukan Rudy dan DPC PDI-P jelas memperlihatkan status quo.  Dari sudut umur, terlihat bahwa mereka hanyalah proxy dari Rudy sendiri.  Artinya, Solo tidak akan berubah banyak di tangan mereka.  Mereka akan melanjutkan gaya Rudy yang lebih mengedepankan stabilitas daripada perubahan.

Peran Rudy dan PDI-P Solo tidak bisa dianggap remeh oleh keluarga Jokowi. Sebab itu terlihat Gibran sangat berhati-hati dan menghormat.  Meskipun demikian, dilain pihak, terlihat rakyat Solo juga ingin lebih. Maka tagline “Lompatan untuk Solo” mampu menggiring relawan-relawan muda untuk bergerak mendukung Gibran, misalnya, kelompok relawan Koncone Gibran.

Terjadinya dialetika sosial ini harus ditangani ibu Mega sendiri, apabila tidak maka akan terjadi benturan sosial yang cukup keras di akar rumput. Pendukung Rudy vs Pendukung Gibran yang pada dasarnya adalah pendukung militan Jokowi.

Meskipun ada calon lain nantinya, tidak akan mampu melawan kedua kekuatan besar ini. Ibu Mega, Jokowi, dan Rudy akan menyelesaikan ini secara internal, sehingga kestabilan terjaga, dan para kadrun tidak menggunakan celah ini untuk kepentingan yang lebih besar.

Layakkah Gibran?

Setelah masalah politik diselesaikan, kompetensi Gibran yang kemudian dipertanyakan. Mampukah dia? Mengurus Catering dan mengurus kota, apalagi kota sepenting Solo, jelas tidak sama. Masih membutuhkan waktu untuk bisa dinilai apakah Gibran layak atau tidak. Tapi, kekuatan Gibran adalah dia memiliki mentor, supervisor, sekaligus investor politik nomer satu di Indonesia sekarang ini, yaitu Jokowi sendiri.  Jokowi sebagai Bapak tidak akan pernah membiarkan anak sulungnya gagal, itu sudah pasti.

Kecepatan Gibran belajar adalah kunci. Sejauh ini belum banyak yang diperlihatkan kecuali adalah kemampuan dia merangkul relawan seperti Jokowi. Pemikiran-pemikiran ideologis, strategis, sampai teknis untuk melakukan “lompatan” belum dibuka.

Disini Gibran harus bisa memiliki tim teknis yang terbaik untuk menyusun, tapi lebih baik lagi adalah keorisinilan dia. 2024 atau 2029 kita tidak membutuhkan Jokowi lagi, tapi kita membutuhkan orang yang bisa melanjutkan pekerjaan Jokowi. Jadi, apabila bisa menunjukkan bahwa dia memiliki pola pikir, kerja, dan karakter yang lebih kuat, cepat, dan taktis dari Jokowi, maka sudah pasti dia layak dipilih.

Saat ini, untuk mengatakan tidak dan jangan kepada pendaftaran Gibran adalah sesuatu yang konyol. Dia WNI yang berhak untuk maju kontestasi, dan dia bisa menang atau kalah tergantung pemilih. Menuduh KKN adalah hal yang tidak pas, kalau dia mendapatkan keuntungan karena Jokowi itu adalah berkah Ilahi yang kita tidak boleh iri atau serang.

Yang kita harus terus kawal adalah proses metamorfosis Gibran si tukang Catering menjadi politisi ini tidak berhenti sampai menjadi kupu-kupu. Dan semuanya itu terpulang kepada dia sendiri apakah mau mendengar,  dan terus merendahkan diri belajar dari semua pihak yang tua, muda, kaya, miskin, dan segala suku, kaum, dan agama.

Selamat berjuang mas Gibran, perjalanan masih panjang, sebagai warga Solo, KTP Solo saya akan menggunakan opsi memilih walikota 2020. Apakah saya akan memilih Anda? Saya tunggu paparan visi, misi, dan programnya (indikator perubahan), keputusan bu Mega (indikator stabilitas), dan lawan yang dihadapi (indikator elektabilitas). Melompatlah, tapi jangan jatuh!

Pendekar solo

Coretan Lain:

Please follow and like us: