Ahok Komut Pertamina Membuktikan Ketidakadilan Hukum Di Indonesia?

Hari ini (25/11/19) Ahok atau BTP resmi dianggkat Erick Thohir (menteri BUMN) untuk menjabat sebagai komisaris utama Pertamina, salah satu BUMN terbesar dan berpengaruh secara ekonomi, dan sosial politik di Indonesia. Sebagai pendukung gerakan Bersih Tranparan Profesional (BTP) tentu saya senang dan saya yakin jutaan WNI yang lain berharap banyak dari pengangkatan ini. (baca)

Tidak bisa dipungkiri, peran Jokowi dalam pengangkatan Ahok ini sangat besar. Bukan hanya sekedar sebagai “teman baik” seperti tuduhan Fadli Zonk, tapi kita bisa melihat jelas bahwa Jokowi dan Erick sedang memainkan sebuah permainan besar untuk menggunakan BUMN Indonesia yang beraset 8000 Triliun (4 kali APBN) sebagai motor penggerak ekonomi Indonesia menghadapi tantangan global juga untuk membuat lompatan katak (leap frog) Indonesia menjadi negara maju.  Kita harus apresiasi!
Meskipun demikian, berdekatan dengan reuni kelompok 212 hari Senin di Monas, realitas pahit yang tergambar dengan gamblang dalam kasus Ahok adalah eksistensi ketidakadilan hukum di Indonesia.

Ahok yang terpidana 2 tahun dan menjadi fenomena politik dalam dan luar negeri jelas dikriminalisasi oleh “keadaan hukum” di Indonesia.

Kapolri pada tahun 2017 ada Tito Karnavian (sekarang mendagri) yang notabene adalah orangnya Jokowi, serta Jaksa Agung waktu itu adalah Muhammad Prasetyo yang adalah orang Nasdem, dan presiden juga masih Jokowi. Artinya, meskipun dikelilingi orang-orang berpengaruh yang pro Ahok, kriminalisasi terhadap Ahok tidak bisa dihindari. Desakan massa 212 dan konco-konco yang ditunggangi kekuatan politik Anies, JK, SBY, Prabowo waktu itu mampu melumat Ahok sampai meringkuk di sel 2 tahun.

Apabila tanpa dukungan massa dan politik, maka jelas Kepolisian tidak akan memproses Ahok karena memang tidak ada kasus yang terlalu urgen untuk ditindaklanjuti. Pihak Kejaksaan pun tidak akan mau menerima pelimpahan P21. Terbukti pihak pengadilan yang “secara aneh” memutuskan diluar tuntutan Kejaksaan (baca). Ahok pun akhirnya “menyerah” dan menghindar dari konflik, bahkan keluarga berantakan sebagai akibat sampingan semua tegangan psikologis yang terjadi.

Setelah keadaan tenang, dan kondisi sosial politik stabil, kekuatan 212 sudah tercerai berai (HBR belum bisa balik, JK sudah lengser, SBY sudah kalah, Prabowo sudah ditarik menjadi menhan), Jokowi dan Erick berani untuk memulihkan Ahok dan memberikan dia “keadilan di luar hukum”.  Karena secara hukum Ahok tidak mendapat keadilan, tapi dalam realitas Ahok mendapatkan posisi strategis yang menyiratkan bahwa semua proses hukum 2017 adalah proses politisasi hukum.  Pahit benar hukum di Indonesia.

Tidak ada dunia yang sempurna. Langkah politik  hukum Jokowi-Tito di tahun 2017 dalam kasus Ahok adalah langkah pahit yang harus diambil demi keutuhan negara.  Radikalisme, premanisme, oportunisme, dan para maling telah mampu mencetak gol indah di 2017, tapi masa mereka hanya 2 tahun, 2019 adalah sebuah titik balik yang kita harapkan menghabiskan semua yang masih sisa.

2017 – 2019 adalah 2 tahun yang kelam bagi Ahok dan keadilan hukum, sekarang Jokowi diberi kesempatan untuk memperbaiki kinerja dibagian penegakan hukum, dan Ahok pun diberi kesempatan untuk mengabdi lagi bagi masyarakat.

Prabowo pun dengan cara yang ajaib mendapatkan kesempatan kembali untuk menunjukkan bahwa dia memang layak jadi pemimpin bangsa, apa yang dia tabur di 2012 dengan mendukung Jokowi – Ahok, selama 7 tahun ini telah tumbuh dan berbuah Menhan dan kesempatan membersikan masa lalu.

Bagaimana dengan JK dan SBY? JK sudah masuk masa pensiun, diharapkan dia bisa legowo dan menjadi bapak bangsa dan tidak lagi mencampuri politik praktis.  SBY setelah ditinggal ibu Ani terlihat lebih tidak bersuara. Dan itu bagus.  Lebih baik SBY juga menjadi king maker yang mendukung AHY dan Demokrat untuk menemukan ritme kembali.

PR bangsa ini masih banyak, tapi paling tidak kita sudah melewati suatu masa yang menegangkan,  dan lolos dari sebuah ujian yang berat.  Doa kita bersama, jangan sampai ada Ahok yang lain, yang harus masuk bui karena ketidakadilan.  Jadi, apakah ada ketidakadilan hukum di Indonesia? Sila ambil kesimpulan sendiri-sendiri.  Saya pilih minum kopi pahit, karena saya pun pernah mengalami.

Allah telah membuat aku lupa sama sekali kepada kesukaranku dan kepada rumah bapaku.

Pendekar Solo

Coretan Lain:

Please follow and like us: