Indonesia Membutuhkan Ahok

Dinamika pencalonan Cagub-Cawagub DKJ (Jakarta) 2024 – 2028 sangat intensif. Meskipun sudah ada IKN, pamor Jakarta masih jauh lebih tinggi dari Nusantara yang penuh dengan kontroversi. Berantakannya aransemen politik KIM Plus paska sahnya Putusan 60 dan 70 MK membuat Ridwan Kamil – Suswono harus menghadapi kenyataan bahwa kemungkinan mereka menang menjadi mengecil secara signifikan.

Dilain pihak, PDI-P yang mendapatkan angin segar tiba-tiba menjadi penuh liku politis. Anies yang masih memiliki elektabilitas tinggi di Jakarta, tiba-tiba merapat ke PDI-P.  Dan framing untuk PDI-P “harus” mengusung Anies untuk menang mengalahkan Jokowi digulirkan dengan gencar dari kelompok. Itungan politik yang memang masuk.  Hampir sama dengan itungan “putaran kedua” yang ditakuti Prabowo-Jokowi-Gibran, kalau Anies (01) dan Ganjar (02) lolos putaran satu.  Jadi, bangunan politik ini adalah imbas dari Pilpres 2024.

Keberhasilan Demo 22-23 Agustus kemarin membuat semangat perubahan semakin menguat. Keluarga  Jokowi dan suasana kebatinan akibat tekanan politik menjadi  “common enemy” untuk meloloskan dua kutub yang berbeda Anies dan PDI-P.  Kemungkinan untuk berhasil menang melalui pasangan ini ada. Itu yang membuat para politisi PDI-P gamang.

Tetapi berbeda dengan Banten, Jakarta memiliki kuda hitam yang bernama Ahok.  Banten hanya ada Airin, sebab itu dengan gampang PDI-P memberikan tiket kepada Airin. Sekaligus ada kepentingan untuk membongkar kandang Golkar di Banten. Very clear, itungan politik di Banten.  Di Jakarta, bukan hanya Ahok memiliki elektabilitas tinggi, tetapi juga terbukti setia kepada PDI-P. Ditambah, Ahok memang memiliki branding yang sangat kuat soal Bersih, Transparan, dan Profesional.

Sebab itu, munculnya nama Pramono Anung yang out-of-nowhere jelas sangat membingungkan sekaligus mencurigakan.  Membingungkan kalau benar-benar Pramono – Rano diajukan.  Karena dasar politik, maupun idealisme tidak ada.  Dasar politik selalu dihitung dari kemenenangan. Rate untuk menang Pramono – Rano jelas tidak bisa dibandingkan Anies – Rano, atau Ahok – Rano.  Mencurigakan karena kenapa PDI-P harus mainkan politik memutar lagi.  Dasar apa yang membuat Bu Mega dan PDI-P harus mengulur waktu sampai hari ini atau besok.  Mungkin rakyat tidak pernah akan tahu, tapi yang kita bisa tahu adalah urusan politik, hukum, dan kepentingan elit.

Kami Butuh Harapan

Bukan hanya itungan politis, dan idealisme, tetapi PDI-P dan seluruh masyarakat yang kecewa terhadap Jokowi dan keluarga, serta kondisi politik saat ini, harusnya menyadari bahwa yang dibutuhkan Indonesia sekarang adalah berlanjutnya Harapan Baru.

Jokowi yang dipersonifkasi menjadi Harapan Baru (New Hope) 10th lalu telah membunuh harapan baru itu. Pesimisme dan apatisme kembali muncul. Akibatnya, kerusakan semangat nasionalisme dikalangan menengah, dan generasi baru akan semakin parah.  Gambaran yang ada sekarang ada “Semua elit sama aja”.  Jokowi, Prabowo, Surya Paloh, Cak Imin, PKS, dan sekarang Mega dan PDI-P pun  juga sama saja.  Dan ini sangat menyedihkan.

Ahok atau BTP adalah simbol Harapan Baru yang masih berlanjut. Itu sebabnya Indonesia membutuhkan dia.  Dengan mencalonkan dia menjadi Cagub DKJ 2024-2029, Indonesia tiba-tiba menyadari ada Mega, PDI-P, dan Ahok yang berani untuk tetap menyalakan Api Harapan bahwa berpolitik bukan hanya untuk kepentingan pragmatis, tapi juga untuk kepentingan Negara dan Bangsa.

Semoga tulisan kecil ini sampai kepada Bu Mega, dan para pengampu keputusan di PDI-P.  Berikan kami harapan lagi bahwa Indonesia masih bisa diperjuangkan.  Let the New Hope Continues!

Catatan Kaki :
Untuk Pak Ahok, kalau kesempatan itu diberikan lagi. Berikan yang terbaik untuk bangsa dan negara, tunjukkan bagaimana menjadi Terang dan Garam bagi bangsa ini itu bisa. Doa kami menyertai.

Pdt. Dr. Hanny Setiawan, MBA
Ketum
Forum Nasionalistme Kristen

Coretan Lain:

Please follow and like us: