Dalam perjalanan sejarah umat manusia, kehadiran pemimpin-pemimpin yang bertindak sewenang-wenang, kejam, dan jahat telah menjadi fenomena yang berulang. Situasi ini kerap menimbulkan pergumulan teologis yang mendalam: mengapa Allah Yang Mahabaik dan Mahakuasa mengijinkan pemimpin-pemimpin jahat untuk berkuasa? Pertanyaan ini menyentuh inti dari pemahaman kita tentang kedaulatan Allah dan theodicy – pembenaran atas kebaikan Allah di tengah keberadaan kejahatan.
Untuk memahami paradoks ini, kita perlu terlebih dahulu mengakui premis fundamental yang dinyatakan Alkitab tentang kedaulatan Allah atas segala kekuasaan di bumi. John Calvin, dalam pembacaannya atas Roma 13:1, menegaskan bahwa tidak ada kekuasaan kecuali dari Allah. Pernyataan ini menghadirkan tegangan teologis: jika semua kekuasaan berasal dari Allah, bagaimana kita memahami keberadaan penguasa yang bertindak berlawanan dengan sifat-sifat Allah?
Martin Luther menawarkan perspektif yang mencerahkan dalam karyanya “On Secular Authority” (1523). Ia memandang pemimpin jahat sebagai manifestasi dari murka Allah atas suatu bangsa, namun sekaligus menegaskan bahwa bahkan melalui tirani, Allah tetap memerintah dan menggenapi rencana-Nya. Pemahaman ini membuka wawasan bahwa keberadaan pemimpin jahat dapat berfungsi sebagai instrumen dalam rencana Allah yang lebih besar.
Jonathan Edwards memperdalam pemahaman ini dengan argumentasinya bahwa Allah dapat menggunakan kejahatan untuk menghukum kejahatan, tanpa Dia sendiri menjadi jahat. Perspektif ini terefleksi dalam narasi alkitabiah, seperti penggunaan Asyur sebagai “tongkat murka” Allah (Yesaya 10:5) dan Nebukadnezar sebagai “hamba” Allah untuk menghukum Yehuda (Yeremia 25:9). Dalam konteks ini, pemimpin jahat dapat dipahami sebagai instrumen penghakiman ilahi.
Augustine dari Hippo, dalam magnum opus-nya “City of God”, mengembangkan dimensi lain dari pemahaman ini. Ia melihat penderitaan di bawah penguasa jahat sebagai sarana pemurnian gereja dan pengujian iman orang-orang kudus. John Chrysostom melengkapi perspektif ini dengan melihatnya sebagai cambuk yang dapat membawa bangsa-bangsa kepada pertobatan. Kedua pemikiran ini menyoroti aspek pedagogis dari ijin ilahi atas pemimpin jahat.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah bagaimana umat beriman seharusnya merespons pemimpin yang jahat. Dietrich Bonhoeffer, dalam konteksnya menghadapi rezim Nazi, memberikan wawasan yang mendalam. Ia menekankan bahwa ketaatan kepada penguasa harus selalu dibingkai dalam ketaatan kepada Allah. Ketika keduanya bertentangan, prioritas harus diberikan kepada ketaatan kepada Allah, selaras dengan prinsip yang dinyatakan dalam Kisah Para Rasul 5:29.
Karl Barth memperluas pemahaman ini dengan menekankan tanggung jawab profetis gereja untuk berbicara melawan ketidakadilan, bahkan ketika hal itu berasal dari penguasa. Perspektif ini menunjukkan bahwa pengakuan akan kedaulatan Allah tidak berarti pasivitas dalam menghadapi kejahatan struktural.
Dalam dimensi eskatologis, Abraham Kuyper mengingatkan bahwa semua kekuasaan duniawi bersifat sementara, dan hanya kerajaan Allah yang kekal. Jürgen Moltmann memperkuat perspektif ini dalam “Theology of Hope”, menegaskan bahwa pengharapan Kristen tidak terletak pada perbaikan sistem politik dunia, tetapi pada kedatangan Kerajaan Allah yang akan menegakkan keadilan sempurna.
C.S. Lewis memberikan metafora yang powerful dengan menggambarkan penderitaan sebagai megafon Allah untuk membangunkan dunia yang tuli. Dalam konteks pemimpin jahat, penderitaan yang ditimbulkan dapat berfungsi sebagai katalis yang membawa manusia untuk mencari Allah dengan lebih sungguh-sungguh.
Sintesis dari berbagai perspektif teologis ini menunjukkan bahwa ijin Allah atas pemimpin jahat bukanlah tanda absennya kedaulatan Allah, melainkan manifestasi dari kedaulatan-Nya yang bekerja melalui cara-cara yang melampaui pemahaman manusia.
Pemimpin jahat, dalam providensia Allah, dapat berfungsi sebagai instrumen penghakiman, sarana pemurnian, dan panggilan pertobatan. Namun, pada akhirnya, kekuasaan mereka tetap bersifat sementara dan terbatas, sementara rencana Allah yang kekal pasti akan tergenapi.
Coretan Lain:
- Kejahatan Moral Politik SARA
- Ideologi LGBTQIA – A Lesson Learned
- Putusan Pengadilan yang Cacat Karena Pelanggaran Etika Hakim
- Konstruksi Teologis Bisnis Kerajaan
- Mengapa Umat Kristen Lebih Mendukung Ahok Daripada Hari Tanoe?