Ideologi khilafah adalah globalisme berbasis agama. Sebab itu lahirlah organisasi seperti HTI yang transnasional. Karena secara ideologi, globalisme menentang nasionalisme. Akibat pertempuran globalisme dan nasionalisme maka semangat etnisitas berkembang.
Nasionalisme terjepit diantara globalisme dan tribalisme. Celah ideologi inilah yang digunakan para SJW, dan Kadrun yang akhirnya menjadi amunisi para politisi CebongPret (Cebong dan Kampret) yang haus kekuasaan dan kepentingan.
Ide Islam Nusantara sebagai jawaban global dari teman-teman NU bisa menjawab perang ideologis jaman posmo ini. Bagaimana dengan teman-teman Kristen sendiri?
Wahyu 7:9 bisa menjadi landasan filosofis mengkonstruksi kekristenan yang berbasis kesukuan, dalam koridor kebangsaan (nasional-state), dan sekaligus global secara desain besarnya.
Kemudian dari pada itu aku melihat: sesungguhnya, suatu kumpulan besar orang banyak yang tidak dapat terhitung banyaknya, dari segala #bangsa dan #suku dan #kaum dan #bahasa, berdiri di hadapan takhta dan di hadapan Anak Domba, memakai jubah putih dan memegang daun-daun palem di tangan mereka. (Wahyu 7:9)
Dalam teologi Kristen, setiap bangsa, suku, kaum, dan bahasa dihargai karena semua adalah in Logos (sebagai ciptaan Kristus sebagai Logos)
Surat Paulus kepada jemaat Galatia memperlihatkan lebih jelas, Gal 3:28 ” Dalam hal ini tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu SEMUA ADALAH SATU di dalam Kristus Yesus.”
Jadi Bagaimana?
Dengan sendirinya, Kristen selalu selaras dengan gagasan Nusantara, sehingga #nusantara bisa menjadi tempat berpijak bersama atau titik temu secara teologis antara Islam dan Kristen di Indonesia sebagai satu bangsa yang utuh.
Bukan hanya secara historis memiliki kesamaan sejarah sebagai agama semitik, tapi secara filosofis, Islam dan Kristen bisa bertemu di Indonesia sebagai satu Nusantara.
Sebuah Pemikiran Awal,
Hanny Setiawan
Catatan Kaki:
John Naisbitt (1988), dalam bukunya yang berjudul Global Paradox ini memperlihatkan hal yang justru bersifat paradoks dari fenomena globalisasi. Naisbitt (1988) mengemukakan pokok-pokok pikiran lain yang paradoks, yaitu semakin kita menjadi universal, tindakan kita semakin kesukuan, dan berpikir lokal, bertindak global. Hal ini dimaksudkan kita harus mengkonsentrasikan kepada hal-hal yang bersifat etnis, yang hanya dimiliki oleh kelompok atau masyarakat itu sendiri sebagai modal pengembangan ke dunia Internasional. (sumber)
Coretan Lain:
- Ideologi LGBTQIA – A Lesson Learned
- Memilih Presiden Indonesia 2024 (1)
- Kejahatan Moral Politik SARA
- PDI-P Benteng Terakhir Parpol Idealis
- Pemerintahan Allah