Dikendangi Mata Najwa, Arteria Dahlan Menari Bersama Emil Salim

Baik ILC maupun Mata Najwa saya sudah tidak pernah melihat dan mengikuti lagi. Karena bagi saya orang awam yang tidak ikut politik praktis, saya hanya butuh sumber kebenaran bukan sumber opini. Bagi pengamat awam mencari data yang sahih itu sulit, karena kita tidak memiliki akses ke data-data yang sahih.

Media mainstream pun sudah terpuruk dititik nol. Pertempuran bisnis, praktis dan ideologis akhirnya membuat mereka harus bias. Akhirnya, lebih saya lebih memilih mengikuti tokoh di sosmed dan kemudian memakai media-media untuk referensi umum, bukan utama dalam memilah-milah sebuah isu politik.

Untuk menjadi WNI yang berpartisipasi dan peduli bangsa, sosial media bisa kita gunakan untuk menyuarakan suara kecil kita secara langsung di ruang publik. Paling tidak circle of influence kita akan mendapatkan pandangan dari apa yang kita percaya. Artinya, kita bisa melakukan perubahan-perubahan yang mungkin kecil tapi bisa berdampak besar melalui sosial media.

Di pihak lain,  kalau kita asal mengikuti trending topic dan ikut menggoreng isu kita juga bisa menjadi bagian dari pembuat gaduh bangsa. Kebiasaan ikut-ikutan inilah yang bisa dibaca dan akhirnya dipakai para desainer dan strategi politik (baca : tokoh intelektual) untuk menggiring opini. Contoh yang tidak bisa saya lupakan adalah ketika Wapres terpilih kita Bp. Maruf Amin menjadi saksi disidangnya Ahok, beliau datang Sebagai saksi utama dan yang memberatkan.  Posisi hukum Ahok sebagai terdakwa, mengharuskan Ahok untuk membela diri dari semua tuduhan. Dan itu artinya keras karena dalam pengadilan terbuka.

Apa akibatnya? Akibatnya adalah serangan ke Ahok bahwa dia tidak menghormati Ulama.  Bahkan isu membesar, dan Luhut Panjaitan Binsar pun sampai harus sowan ke Bp. Maruf Amin untuk mendinginkan suasana.  Pak Amin tidak memperpanjang, bahkan menjadi wapres terpilih, semua happy.  Ahok? Dipenjara.

Kejadian 2 tahun lalu itu seperti sebuah film didepan mata saya sampai sekarang. Narasi bisa dibuat sembarang asalkan bisa menjadi trend maka narasi itu yang akan dibenarkan massa.  Massa yang mayoritas adalah akun-akun abal-abal bahkan bot-bot untuk membuat sebuah isu trending topic sudah mengalahkan akun-akun asli yang jumlahnya cuma segelinter.

Bahkan, akun-akun asli pun sekarang sedang dalam serangan media tua, Tempo dan disebut sebagai buzzer-buzzer. Padahal akun asli lebih berani karena pribadi, sementara Tempo atau media yang lain sebuah perusahaan dimana didalamnya banyak ide dan pandangan juga.  Jadi dunia memang sedang bertarung. Era post-truth yang akhirnya membuat kita semua seperti Pontius Pilatus bertanya, “Apakah Itu Kebenaran?”

Arteria Dahlan vs Emil Salim

Timeline perhari ini (10/10/19) penuh dengan cacian kepada anggota DPR Arteria Dahlan. Selidik punya selidik, ternyata dalam perdebatan keras antara Arteria Dahlan dan Emil Salim di acara Mata Najwa, Arteria dianggap tidak sopan dan tidak beradab kepada Bp. Emil yang sudah 89 tahun dan dianggap sudah menjadi tokoh bangsa.

Saya pribadi hanya tahu Bp Emil sebagai bagian dari “Mafia Berkley” jaman Orba, dan selalu menjadi pendukung Soeharto dan terakhir ada di Dewan Pertimbangan zaman SBY.  Entah sekarang ada posisi apa, mungkin sudah pensiun.  Atau mungkin mau tetap eksis dipolitik dan terus mencari panggung? Siapa tahu, Mahathir Muhammad di Malaysia aja bisa jadi presiden diumur yang lebih tua (94th).

Terus terang, yang terbersit secara spontan dalam pikiran saya adalah kasus Arteria dan Emil ini sama dan sebangun dengan kasus Ahok dan Maruf Amin 2 tahun lalu. Isu substansi tidak dipermasalahkan lagi, tapi justru masalah yang tidak krusial yang menjadi besar. Yang penting trending. Kalau jaman Ahok, semua yang yang tidak ingin Ahok naik lagi ikut memainkan kendang sehingga “isu penghinaan ulama” menjadi lebih dominan daripada apakah Ahok benar atau salah berdasarkan kesaksian yang diberikan.

De javu, sekarang isu utamanya adalah apakah Perlu Perppu UU KPK atau tidak menjadi kabur. Yang penting adalah Arteria sebagai pendukung Menolak Perppu UU KPK dihajar dulu, karena dia dianggap sebagai simbol mewakili menolak Perppu UU KPK, berarti semua yang menolak seperti dia tidak beradab, wakil rakyat sombong, dari partai yang tidak bersih, dan narasi-narasi yanga menjatuhkan lainnya.

Di lain pihak, yang mendukung Perppu UU KPK diwakilkan kepada Emil Salim, orang tua, tokoh bangsa, bijaksana, harus dihormati.  Sebuah desain politik yang sempurna, dan tidak sedikit yang menolak Perppu pun ikut secara sukarela menghujat Arteria.  Hebat kan orang-orang ini. Dan siapa juru kendang utamanya, Mata Najwa!  Saya akui, hebat.

Tidak ada yang melanggar hukum, kasus ini ada diwilayah adab dan etika. Sebab itu, sah-sah saja. Ketika para Jancukers, analis-analis tersohor, bahkan tokoh-tokoh bangsa  bersatu dengan kelompok yang selama ini dilabel kampret, kadrun, bahkan cebong “baik hati” semua masih dalam koridor hukum yang artinya kita cuma bisa menghela nafas dan mengatakan, “itulah politik”.

Siapa yang tertawa? Desainer, dan para strategi politik yang mencoba membatalkan Dewan Pengawas dalam tubuh KPK. Itu substansinya.  Dan saya melihat itu menjadi marah. Marah terhadap diri sendiri, karena belum bisa melawan kezaliman orang-orang yang bisa menggiring opini kekini dan kekanan berdasarkan kepentingan.  Mungkin tidak semua orang perlu dibayar untuk melakukan sesuatu, cukup jadi bodoh saja sehingga bisa digerakkan melakukan sesuatu yang destruktif.

Tinggal 10 hari lagi, Jokowi di lantik. Sampai hari ini, beliau diam dan terus mengamati. Cercaan dan hinaan terus bertubi-tubi. Tapi semua mengingatkan kepada saya apa yang dikatakan Ahok soal Jokowi. Kalau Ahok itu keras, langsung ya atau tidak. Tapi Jokowi itu “lebih kejam” karena dia pelan-pelan menggodok kodok di panci, tidak terasa tiba-tiba semua teriak dan akhirnya jadi Swie Kee.

Saat ini semua yang dibawah ketel sudah naik dipermukaan, berarti temperatur sudah sangat panas dibawah sana. Sebab itu, tarian-tarian liar semakin kencang, karena para penabuh kendang sudah tak mampu lagi memainkan irama lain. Arteria dan Emil menarilah, Mata Naja teruslah bermain kendang.  Saya memilih bermain piano. I see you!

 

Pendekar Solo

Coretan Lain:

Please follow and like us: