“Suara Profetis” Butet, Dimana Suara Gereja?

Keputusan Mahkamah Konstitusi perkara 90 yang dianggap penuh manipulasi akhirnya menjadi buah mulut dan kegelisahan batin rakyat Indonesia.  Bukan hanya para influencer, atau netizen, ratusan aktifis, dan senior budayawan seakan dipaksa “turun gunung” untuk menyuarakan “suara profetis” kepada Jokowi.

Salah satu tokoh budayawan adalah Butet Kartaredjasa yang surat pribadinya ke Jokowi menjadi viral (baca). Surat Butet terasa sangat klop dengan suara kebatinan orang-orang di warung-warung, hik-hik, sampai pebisnis dan elit-elit bangsa dari lintas partai, dan elektoral.  Terlihat keviralan surat Butet telah mampu menggerakan sel-sel tidur Silent Majority para penjaga NKRI.

Meskipun Goenawan Muhammad menuliskan surat keprihatinan yang senada (baca), surat Butet terasa lebih powerful, karena Butet lebih jauh dari politik praktis.  Berbeda dengan GM yang sangat dekat dengan Tempo Group dan politik praktis terutama di masa lalu.  Hal ini memperlihatkan bahwa rakyat biasa yang tanpa kekuatan politik, jabatan, atau uang, masih bisa berfungsi dengan baik untuk menjaga NKRI.  Sebuah contoh yang baik apa yang disebuth menjadi Garam dan Terang bagi Gereja Tuhan.

Surat Butet ini seharusnya membuat Gereja Tuhan di Indonesia menyadari, betapa “bisu” dan apatisnya Gereja dengan politik.  Bahkan terkesan ketakutkan untuk menyatakan pendapatnya diruang-ruang publik, dengan alasan “Gereja tidak berpolitik”.   Padahal, Gereja Tuhan atau Eklesia adalah institusi utama Kerajaan Surga untuk menjadi suaraNya- THE VOICE.

Bukannya menjadi Voice, suara-suara kekristenan terlihat “pating clebung” , atau menjadi suara kegaduhan, THE NOISE.  Bak relawan-relawan gadungan yang haus logistik, oknum-oknum yang mengaku kristen, atau minimal bernama kristen justu ikut bermain demi mamon.  Sangat memprihatinkan.

Scholar, ahli teologi, STT-STT terasa sangat senyap dan acuh dengan kondisi yang ada.  Sehingga suara-suara di ruang publik diisi dari kelompok-kelompok lain, dimana suara GerejaNya? Dimana TubuhNya? Bukankah kita adalah bagian dari solusi dimana kita dibuang? Pertanyaan-pertanyaan retoris ini muncul akibat kegelisahan yang tidak tersalurkan dengan baik.

Sudah waktunya, para pemimpin dan pemikir Kristen untuk duduk bersama dan merumuskan kembali peran Gereja untuk memuridkan bangsa (Discipling Nation) seperti dalam Amanat Agung Mat 28.  Bukan hanya memuridkan pribadi, tetapi memuridkan sebuah bangsa.

Biarlah tulisan instropektif ini menjadi awal perenungan dan pertobatan bersama.  Bangsa ini membutuhkan Gereja-Nya.  Karena suara Gereja-Nya harus berfungsi sebagai suara gembala yang akan menuntung bangsa ini kepada jalan-jalan yang benar.

Doa Saya,

Hanny Setiawan

Coretan Lain:

Please follow and like us: