Ada perubahan arah dalam peradaban modern yang tidak bisa diabaikan. Nilai-nilai moral yang dulu dijaga atas nama agama dan wahyu ilahi, kini sedang digantikan oleh nilai-nilai buatan manusia yang dibentuk dari narasi identitas, luka sejarah, dan konstruksi sosial. Di tengah arus besar itulah, ideologi woke naik panggung. Ia tampil sebagai gerakan kesadaran, membela kaum tertindas, dan memperjuangkan “keadilan”. Namun bila dikaji secara lebih kritis, woke bukan hanya ide sosial. Ia adalah proyek ideologi politik — dan kekristenan ortodoks menjadi salah satu target utamanya.
Woke: Dari Kesadaran Sosial Menjadi Alat Kekuasaan
Awalnya, istilah woke berasal dari komunitas Afro-Amerika yang menyerukan kesadaran atas rasisme sistemik. Namun menurut James Lindsay dan Helen Pluckrose dalam Cynical Theories (2020), woke berkembang menjadi aplikasi radikal dari critical theory dan postmodernism — yakni cara pandang yang tidak percaya pada kebenaran absolut, melainkan pada narasi kekuasaan.
Dalam konteks ini, agama — terutama agama dengan klaim kebenaran mutlak seperti kekristenan — dianggap sebagai bagian dari struktur opresi. Gereja, Alkitab, dan tradisi iman dijadikan simbol patriarki, kolonialisme, dan heteronormativitas. Maka tidak mengherankan bila dalam dunia akademik, media, bahkan lembaga internasional, kekristenan mulai dikriminalisasi secara halus dengan label “intoleran”.
Studi oleh George Yancey, sosiolog dari Baylor University, menunjukkan bahwa kelompok Kristen konservatif adalah salah satu kelompok yang paling tidak disukai oleh akademisi liberal Amerika. Dalam Compromising Scholarship (2011), ia membuktikan bahwa diskriminasi terhadap pelamar kerja atau dosen yang mengaku Injili sangat tinggi, bahkan lebih dari diskriminasi rasial. Ini bukan spekulasi — ini statistik.
Strategi Propaganda: Lembut tapi Menggigit
Propaganda woke tidak bekerja melalui sensor terang-terangan, tetapi melalui tekanan sosial dan politik simbolik. Melalui media, platform pendidikan, dan hiburan, narasi woke disebarkan dengan intensitas tinggi. Ketika gereja menyuarakan pandangan alkitabiah tentang seksualitas, ia langsung disandingkan dengan ujaran kebencian. Ketika sekolah Kristen mempertahankan standar moral, mereka dianggap tidak ramah terhadap keberagaman.
Di Inggris, misalnya, seorang dosen Kristen bernama Dr. David Mackereth dipecat karena menolak memanggil pasien transgender dengan nama lawan jenisnya. Ia menggugat, namun pengadilan memutuskan bahwa kepercayaan Kristen tentang gender biologis “tidak layak dilindungi oleh hukum dalam masyarakat demokratis” (BBC, 2019). Kasus ini mencerminkan bahwa dalam sistem yang disuntik woke, iman Kristen dapat diperlakukan sebagai ancaman hukum.
Sementara itu, di ranah global, UNESCO, UNICEF, dan berbagai badan PBB kini mensyaratkan inklusi kurikulum gender dalam pendidikan dasar. Di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia, bantuan internasional mulai mengaitkan dukungan dana dengan penerapan agenda identitas ini. Human Rights Watch dan Amnesty International, dua organisasi hak asasi yang berpengaruh, secara terbuka menekan pemerintah dan komunitas agama agar menerima redefinisi gender, keluarga, dan seksualitas.
Kekristenan Disudutkan secara Sistematis
Dalam nalar woke, kekristenan adalah sistem nilai lama yang harus ditinggalkan demi kemajuan. Maka, simbol iman dijadikan bahan kritik budaya. Film, musik, dan literatur populer sering menggambarkan tokoh Kristen sebagai munafik, fanatik, atau opresif. Sementara nilai-nilai alkitabiah dikemas sebagai usang dan diskriminatif. Ini bukan kritik iman yang jujur, tapi proyek penggeseran fondasi moral masyarakat.
Penelitian oleh Pew Research Center (2020) menemukan bahwa persepsi publik terhadap agama-agama besar, termasuk Kristen, menurun drastis di kalangan generasi Z di Barat. Generasi muda yang dibesarkan dalam ekosistem digital yang woke mulai melepaskan diri dari kekristenan, bukan karena argumentasi teologis yang kuat, tetapi karena propaganda narasi yang sistematis.
Ironisnya, banyak gereja justru menyesuaikan diri. Demi terlihat relevan, mereka mengganti khotbah tentang pertobatan menjadi pesan motivasi dan penerimaan universal. Mereka mengganti kejelasan ajaran dengan ambiguitas demi “keramahan”. Akibatnya, Injil dikosongkan dari daya transformasinya. Salib Kristus dikaburkan oleh kebutuhan akan validasi budaya.
Tanggapan Gereja: Bangkit, Bukan Takut
Gereja tidak dipanggil untuk menyerang dunia, tapi juga tidak dipanggil untuk diam. Kita bukan penjaga moral tradisional semata, kita adalah penjaga kebenaran yang hidup. Dunia tidak akan berhenti menyudutkan iman, tetapi gereja tidak boleh berhenti menyuarakan Injil.
Seperti kata Rasul Paulus, “senjata kami bukan senjata duniawi, tetapi senjata yang diperlengkapi dengan kuasa Allah untuk meruntuhkan benteng-benteng.” (2 Kor 10:4). Woke bisa meruntuhkan institusi-institusi tua, tapi tidak bisa menghancurkan hati yang sudah disalibkan bersama Kristus.
Saat dunia menawarkan kebebasan tanpa kebenaran, gereja harus menawarkan kasih yang berakar dalam salib. Saat ideologi mengandalkan tekanan politik, gereja harus bersandar pada kuasa Roh Kudus. Dan ketika propaganda menyudutkan iman kita, mari kita berdiri — bukan dengan kebencian, tapi dengan keberanian yang lahir dari pengenalan akan kebenaran yang tak tergoyahkan.
_“Karena aku tidak malu terhadap Injil, sebab Injil adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan setiap orang yang percaya…” (Roma 1:16)_
Coretan Lain:
- Ekklesia – Israel, Teologi Kristen Yahudi
- Bikin Agama Baru, Why Not?
- Awasi Berkembangnya Kristen Politik di Indonesia!
- Pelayanan Apostolik Dan Kekristenan Egosentris
- Pemerintahan Allah