Siang-siang jalan-jalan bersama dengan keluarga di mall sebelah rumah. Di hall utama terlihat meriah sekali dengan begitu banyak anak-anak. Selidik punya selidik, ternyata ada acara meet and greet Doraemon, si kucing ndut dari Jepang.
Doraemon bukanlah tokoh kartun kucing satu-satunya. Masih ada Garfield, Tom, Felix, Sylvester, dan jangan lupa Hello Kitty. Tapi Doraemon dengan pintu kemana saja, dan baling-baling kayunya mampu menjadi salah satu tokoh kucing yang mendunia, terutama di Indonesia.
Sepintas “bertemu” dengan si Dora dan teman setianya Nobita di Mall yang terletak di Sukoharjo membuat saya tiba-tiba mendapatkan pencerahan tentang terjadinya Jepangisasi di Indonesia.
Bayangkan lagu-lagu dalam bahasa Jepang dengan fasih dinyanyikan anak-anak, bahkan mereka berteriak “aku sayang Doraemon”. Ini luar biasa, karena yang saya lihat tidak terjadi di Singapore, Kuala Lumpur, atau minimal Jakarta dan Surabaya. Semua di Sukoharjo!
Bagi yang belum tahu Sukoharjo, perlu mengerti kabupaten ini pernah “tercemar” dan bahkan masih dikenal sebagai kabupaten yang menjadi zona nyaman teroris. Bahkan pesantren Nruki yang terkenal juga ada di kabupaten ini.
Bukan Arabisasi, Amerikanisasi, atau Chinaisasi, apalagi Israelisasi, yang jelas didepan manta kita adalah Jepangisasi yang dengan aman, tidak pernah didemo, tidak pernah direweli, berjalan dengan sangat smooth dan merata.
Doraemon adalah figur budaya populer Jepang yang mampu memenetrasi ke anak-anak kita dan dibelakang si kucing ndut masih ada raksasa bisnis seperti Honda, Toyota, Yamaha, Suzuki, Toshiba sampai Roland. Brand-brand yang merupakan nama-nama Jepang yang seakan berdiri tidak tersentuh.
Jepang yang terpuruk di perang dunia kedua mampu kembali dengan demikan kuat di panggung dunia karena mereka fokus dengan membangun masyrakatnya kepada nilai-nilai asli Jepang. Modernisasi yang terjadi di Jepang tidak pernah menghilangkan nasionalisme Jepang yang luar biasa.
Kamikaze dan harakiri dua budaya Jepang yang membuat dunia terbelalak melihat bagaimana WNJ (Warga Negara Jepang) memegang teguh nilai-nilai bushido (tata cara ksatria) yang berakar kepada hormat kepada dewa Matahari.
Martir (marturia), jihad, kamizase, harakiri adalah nilai-nilai universal yang hampir sama artinya yaitu totalitas dalam menghidupi nilai-nilai.
Disaat pencerahan muncul, dan menengok ke berita yang sedang viral di medsos tentang tukang lapor ke polisi, dan bagaimana anggota dewan yang mulai menjadikan koruptor menjadi narasumber sebuah audit kebijakan, maka lemas dan geramlah hati ini.
Tidak heran dengan gampang Doraemon menghancurkan Unyil, Nina Sahabatku, apalagi si Komo, karena memang tidak ada nilai-nilai lagi yang sedang dipertontonkan di panggung nasional. Rakyat dan anak-anak tidak lagi paham arti menjadi Indonesia.
Intinya, anak-anak kita butuh CONTOH, bukan sekedar merombak kebijakan pendidikan. Anak-anak kita butuh TELADAN, bukan sekedar foto-foto pencitraan yang membuat muak dan mual-mual.
Pendekar Solo
Coretan Lain:
- Sekularisasi Amerika
- Ideologi LGBTQIA – A Lesson Learned
- Putusan Pengadilan yang Cacat Karena Pelanggaran Etika Hakim
- Memilih Presiden Indonesia 2024 (1)
- PDI-P Benteng Terakhir Parpol Idealis