Selama lebih dari dua dekade, Indonesia tampil sebagai kisah sukses demokrasi pasca-otoritarianisme. Sejak 1998, Reformasi membawa janji tentang institusi yang kuat, rakyat yang berdaya, dan kekuasaan yang transparan. Namun hari ini, Indonesia tampak memasuki fase baru: sebuah era yang secara formal demokratis, namun secara substansi dipenuhi stagnasi, sentralisasi, dan kepemimpinan tanpa arah.
Pemilu 2024 memperlihatkan sesuatu yang lebih dari sekadar transisi kekuasaan. Naiknya Prabowo Subianto ke kursi presiden bukan hanya titik balik politik, melainkan permulaan konsolidasi elite di atas reruntuhan cita-cita reformasi. Kemenangan Prabowo dibayangi oleh dukungan terbuka dan intervensi terang-terangan dari mantan Presiden Joko Widodo—sebuah tindakan cawe-cawe politik yang tak hanya mengganggu etika demokrasi, tetapi juga menciptakan preseden berbahaya: kekuasaan yang tidak rela pergi.
Jokowi, yang semula dipuja sebagai figur rakyat dan simbol harapan demokrasi, justru menutup era kekuasaannya dengan membajak proses politik melalui instrumen kekuasaan negara. Ia tidak hanya mendorong anaknya, Gibran Rakabuming Raka, masuk ke panggung nasional sebagai wakil presiden—ia memaksa jalannya lewat Mahkamah Konstitusi yang dikendalikan secara terang-terangan. Hasilnya adalah kemunduran institusional yang terlegitimasi oleh diamnya elite politik dan apatisme publik yang kelelahan.
Kini, Gibran menjabat sebagai wakil presiden, namun tanpa kapasitas, pengalaman, atau jejak pemikiran yang jelas. Di tengah tantangan geopolitik, ketimpangan sosial, dan transformasi teknologi, posisi wapres yang seharusnya menjadi mitra strategis presiden justru berubah menjadi simbol politik dinasti. Gibran tidak memberikan nilai tambah. Ia hadir sebagai beban legitimasi, bukan motor kepemimpinan.
Sementara itu, Prabowo memimpin dengan gaya militeristik dan populis. Ia melanjutkan proyek-proyek infrastruktur besar seperti Ibu Kota Nusantara (IKN), meningkatkan belanja pertahanan, dan mengusung retorika nasionalisme sebagai alat pemersatu. Bagi sebagian kalangan bisnis dan investor, ini mungkin tampak sebagai stabilitas. Tapi stabilitas tanpa transparansi dan akuntabilitas justru menghasilkan stagnasi sistemik—dan pada waktunya, potensi disintegrasi.
Ruang sipil menyempit. Media dikendalikan oleh konglomerasi yang akrab dengan kekuasaan. Oposisi politik tidak memiliki figur atau wacana yang kuat. Partai-partai berubah menjadi kendaraan transaksional tanpa ideologi. Gerakan mahasiswa melempem. Kaum muda lebih tertarik membangun karier di luar negeri daripada membangun kembali ruang politik dalam negeri yang sarat manipulasi.
Apa yang dulunya disebut sebagai “demokrasi Indonesia” kini berubah menjadi managed pluralism—keragaman yang dijaga ketat oleh tangan penguasa, dan kebebasan yang dibatasi oleh batas-batas tak terlihat. Negara ini tidak runtuh secara dramatis, tetapi membusuk perlahan dari dalam.
Yang terjadi bukanlah krisis, melainkan kekosongan arah. Indonesia kini bagaikan perusahaan besar yang neracanya masih sehat, tapi kehilangan inovasi, visi, dan energi. Ia terus berjalan karena inersia masa lalu dan struktur pasar yang menguntungkan. Tapi tanpa transformasi mendalam, kebosanan publik akan berubah menjadi friksi sosial. Apalagi ketika generasi muda tidak lagi merasa memiliki sistem yang ada.
Ke depan, bahaya sesungguhnya bukanlah kudeta militer atau kerusuhan besar, tetapi pembekuan kolektif: masyarakat yang diam, elite yang sibuk menjaga status quo, dan negara yang berjalan tanpa imajinasi. Proyek kebangsaan yang seharusnya diperbarui dengan cita-cita baru kini tersandera oleh keluarga, loyalitas pribadi, dan ketakutan kehilangan kekuasaan.
Reformasi 1998 tidak gagal. Tapi ia telah disabotase dari dalam. Dirusak bukan oleh musuhnya, tetapi oleh mereka yang dahulu tampil sebagai pahlawan perubahannya. Kini, ketika semua tampak “stabil”, saatnya publik bertanya: stabil untuk siapa? Dan apa harga yang sedang dibayar dalam diam?
Demokrasi tidak mati dengan letusan senjata. Ia mati ketika rakyat berhenti peduli, dan kekuasaan merasa tak perlu lagi berpura-pura. Indonesia sedang menuju titik itu—pelan, tapi pasti.
Coretan Lain:
- Tsunami Demokrasi, Memotret 20 Maret 2024
- Keanehan Logika Politik : Menerima Prabowo, Menolak Anies
- Rocky Gerung Memperlihatkan Realitas Pemilu 2024
- Ketika Akademisi Mulai Mengkritisi Jokowi
- Erdogan Sayang Yang Bikin Malang : Studi Kasus Pemilu Turkiye