Dahlan Iskan Menulis, Bethany Terbangun!

Secara beruntun dalam 3 hari ini, keluarga Bethany dikejutkan, bukan hanya kepergian mendadak Bapak Bethany, alm. Abraham Alextanuseputra, tapi tulisan seorang Dahlan Iskan tentang almarhum yang menjadi viral juga sangat mengejurkan, karena secara lugas menuliskan beberapa hal sensitif bagi keluarga Bethany untuk dibicarakan.

Perpecahan organisasi dalam tubuh sinode Bethany dalam beberapa tahun terakhir, bukan hanya membingungkan khalayak umum, sebenarnya dikalangan pendeta/pejabat Bethany secara umum pun tidak lagi bisa mengurai apa yang sebenarnya terjadi, karena begitu banyaknya gugatan pengadilan baik pidana maupun perdata.

Dinamika sengketa, dan konflik dalam tulisan Dahlan Iskan semakin “sexy” dalam jurnalistik karena ditambah isu terbaru yaitu tidak disemayamkannya jenasah Bapak Bethany, di Gereja Bethany yang dia dirikan, baik di Manyar ataupun di Nginden, dan menyingung soal ketidakhadiran Aswin Tanuseputra, putra alm. Alex Tanuseputra.

Keseluruhan Gereja Bethany itu kini memang sudah di tangan Aswin. Sudah lebih dari 7 tahun. Termasuk Gereja Jalan Manyar.
Apakah Aswin nanti melayat ke sini?” tanya saya.
“Tidak akan,” jawab kerabat itu.
Saya kembali menunduk. Lebih lama.

 

Pertanyaan demi pertanyaan semua muncul, karena diluar keluarga inti, alm. pak Alex masih memiliki “keluarga Bethany”, yaitu anak-anak rohani yang lahir dari pelayanan selama puluhan tahun.  Baik yang masih di sinode Bethany, ataupun yang sudah tersebar diberbagai ministry dan sinode yang berbeda. Dan “spiritual family” atau keluarga rohani dari pak Alex ini sebenarnya yang cukup shock dan emosional karena tidak sempat memberikan penghormatan yang terakhir kepada sang Bapak.

Dengan kata lain, almarhum secara de fakto bukan hanya miliki keluarga inti, tapi sudah menjadi milik bersama. Bahkan realitas seorang Dahlan Iskan menuliskan dan ikut melayat memperlihatkan bahwa Pak Alex ini memiliki tempat khusus di sejarah.

Apakah Dahlan Iskan Obyektif?

Dahlan Iskan adalah jurnalis kawakan yang melahirkan grup sebesar Jawa Pos, dia tidak akan menulis tanpa mengukur dampaknya.  Lagian, “mainan baru” dari mantan menteri BUMN ini adalah Harian DI’s Way yang dari blognya ternyata lebih menyentuh kepersoalan-persoalan kehidupan tokoh-tokoh tertentu yang berpengaruh.

Tulisan DI yang berjudul Melayat Drive-Through tentang kematian Suwiro Widjoyo, pengusaha sepatu besar, memperlihatkan bahwa DI tidak ada kepentingan untuk khusus framing soal Bethany. Naluri jurnalistik, dan mungkin juga ada ketertarikan pribadi soal Gereja Bethany yang kontroversial ini yang memotivasi.

Secara faktual, apa yang DI tuliskan adalah data umum, karena soal tuntut-menuntut dalam urusan legal kita tahu bahwa ada pihak-pihak yang namanya akan selalu disebut karena bagian dari “ikut serta” dan semua kasus hukum juga sudah online, bisa orang umum cek, apalagi latarbelakang DI wartawan, dan mantan menteri.  Akses ke informasi-informasi itu akan mudah untuk dia kerjakan.

Tapi apakah DI tahu “esensi permasalahan” saya pribadi melihatnya tidak.  Karena soal dalam internal gereja tidak gampang orang yang tidak dalam gereja mengerti apa yang terjadi.  DI dan kebanyakan hanya bisa melihat permukaan yang ada.  Bahwa ada sengketa, titik.

Justru bagi saya yang mengejutkan adalah sentilan DI soal ketidakhadiran Aswin, dan tidak disemayamkannya jenasah di Bethany Manyar.  Sentilan itu seperti api kecil yang menjalar menjadi bahan pergunjingan WAG-WAG yang selalu haus dengan isu-isu terbaru dan terkini.  Mengejutkan, karena dampaknya adalah WA-WA yang ‘tang-ting-tung” di WA saya pribadi dengan berbagai macam sudut pandang.  Tapi intinya saya melihat, tiba-tiba keluarga Bethany terbangunkan, “Bapakku sudah tidak ada lagi”

Semua pihak-pihak yang bersengketa pun “speechless” karena DI menyinggung dengan halus tapi tajam, pak Leo dan Pak Alex sudah tidak ada lagi.  Apakah sengketa masih harus dilanjutkan?  Tiba-tiba saya melihat pencerahan, jangan-jangan ini cara Tuhan untuk memulihkan keluarga Bethany?

Sengketa, ketidakhadiran Aswin, persemayaman di Adi Jasa, kurangnya kata penghormatan diibadah pelepasan, dan isu-isu lain menjadi tidak penting lagi, karena saya melihat tulisan DI menjadi pintu masuk untuk keluarga Bethany berkumpul dan kemudian bersama-sama saling memaafkan, dan mengampuni.

Karena kekristenan tidak mengenal permusuhan, yang ada hanyalah pengampunan.  Dan yang harus mengampuni adalah yang disakiti.  Seperti orang minum obat, maka yang sakit harus yang minum, bukan susternya.  Yang merasa disakiti, kita belajar melepaskan pengampunan, bukan melepaskan amarah dan menambah gugatan.  Ini waktunya Tuhan memulihkan.

Pak Alex, Batu Yang Menggoncangkan

Pak Alex adalah pintu masuk ke megachurch movement.  Tulisan DI sebenarnya menampar internal gereja.  Dan mungkin ada yang tidak merasa nyaman dengan tulisan itu.  Karena gereja seperti ditelanjangi.  Dan mungkin di WAG-WAG agama menjadi bahan olok-olok.  Dan itu merambat ke denominasi, teologi yang dianut, dan lain-lain. Kasarnya, semua jadi kena imbas. Malu.

Respon bermacam-macam. Ada yang diam, ada yang menulis di sosial media masing-masing, ada yang setuju, ada yang tidak, tapi yang jelas tulisan DI menjadi viral karena ada yang share.  Dan yang share tentunya lingkaran dari gereja sendiri yang paling banyak.

Saya sendiri meneteskan airmata ketika melihat peti mati pak Alex di Youtube yang cuma 43 menit. Saya tahu bahwa itu bukan air mata saya.  Karena saya tidak memiliki hubungan emosional yang cukup dekat dengan beliau untuk bisa menangis.  Tapi saat itu saya merasa itu adalah air mata Tuhan.  Dia menangis, karena Dia mencintai pak Alex.

Justru, dalam tahun-tahun terakhir pak Alex melayani dia selalu mengatakan, “semua daging, harus kembali ke Roh Kudus”, “Aku salah, mengajarkan hidup sukses”.  Dan kalimat-kalimat senada yang memperlihatkan betapa pak Alex diproses Tuhan untuk sampai ketitik, Nginden, Manyar bahkan sinode pun tidak lagi menarik bagi dia untuk dipertahankan.  Melepaskan semua yang dia bangun sejak awal, berapa banyak dari kita bisa melakukan?

Kematian orang benar membawa berkat.  Kalimat itu muncul dalam perjalanan pulang Boston – Solo tahun 2000 untuk melihat jenasah mami saya yang meninggal karena kanker.  Sejak itu saya selalu mengerti setiap kematian orang-orang yang hidup dalam panggilan, akan meninggalkan warisan-warisan rohani untuk dilanjutkan.

Kematian Yesus di kayu salib membawa berkat.  Kematian orang percaya yang hidup dalam SalibNya juga akan membawa berkat.  Kematian pak Alex akan membawa berkat bagi keluarga Bethany. Kematiannya seperti batu yang menggoncangkan sendi-sendi fondasi “pelayanan gereja”.  Sekarang semua bertanya, “Apa arti melayani Tuhan?” Sebuah blessing in disguise.

Terima kasih pak Alex, selamat jalan.  Sekarang pak Alex sudah menjadi bagian dari saksi-saksi disurga.  Kalau orang lain tidak percaya lagi, ijinkan saya melanjutkan Mandat Bethany di generasi ini. I will never say good bye, I will say Arriverdeci!  (Italian, sampai ketemu lagi)

 

Hanny Setiawan

Bethany Solo Baru.

Coretan Lain:

Please follow and like us: