Kasus pembunuhan berdarah dingin Brigadir Joshua di Duren Tiga 11 Juli 2022 telah menguras perhatian netizen +62. Bukan hanya itu, Presiden Jokowi pun sampai harus tiga kali memberikan tekanan politis kepada Kapolri untuk segera menuntaskan dengan transparan kejadian yang memalukan kepolisian itu.
Memalukan karena melibatkan pimpinan tertinggi Propam (Profesi & Pengaman) yang adalah dinas provos yang notabene fungsinya untuk menjadi polisinya polisi. Jadi, Irjen. Pol. Ferdy Sambo memiliki posisi yang sangat strategis dan sangat penting. Untuk bisa sampai keposisi ini butuh perjalanan panjang. Sambo bukan orang sembarangan. Itu yang membuat kasusnya menjadi seksi.
Divisi propam bisa disebut “divisi tukang sapu” mungkin bisa disamakan dengan kopassus di TNI, sebuah pasukan khusus untuk tujuan khusus. Karena yang diawasi adalah polisi, yang tahu hukum, dan juga “teman sendiri”, bisa dibayangkan betapa seorang Sambo sebagai pimpinan tertinggi propam haruslah orang yang berani tegas, dan keras untuk mengambil keputusan seberat apapun.
Perkembangan kasus Sambo dari pelecehan sexual sang istri, Putri Candrawati, sampai kepada isu kekaisaran Sambo, perjudian online 303, sampai riuhnya pendukung FPI plus para politisi pendukungnya masalah KM50 (tewasnya anggota FPI). Tidak cukup itu, tiba-tiba Mahfud MD sampai mendapat julukan netizen “menteri komentar” karena seringnya komentar dan ikut bernyanyi choir netizen +62.
Bahkan, ketika Denny Siregar berkomentar “lupakan Sambo, selamat datang Nico” dan menyentil para pengacara tiba-tiba diserang hebat para “aktifis netizen” yang merasa bahwa Denny yang lagi promosi Sayap-Sayap Patah tidak memiliki perasaan dan empati.
Semuanya membuat kasus Sambo semakin gurih untuk digoreng para politisi yang sedang menyiapkan 2024. Tujuannya apa? Delegitimasi kepolisian, kapolri, akhirnya seperti biasa ke Jokowi dan “penerusnya.” Para penggoreng isu ini tidak kalah jahatnya dengan Sambo cs yang merekayasa pembunuhan Brigadir Joshua.
Tindakan pidana sudah diakui, tugas kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan untuk pembuktian. Tugas kita tentu mengawal keadilan buat keluarga Joshua tenang dan mendapatkan keadilan semestinya. Tetapi, kita juga harus mengerti, bahwa kepolisian bukan cuma Sambo dkk. Kalau kasus ini dipakai pintu masuk untuk membersikan kepolisan, itu blessing in disguise. Artinya, menyerang institusi kepolisian adalah kebodohan politik yang harus kita bayar mahal bila kita tidak waspada.
2024, semua lawan politik Jokowi siap menerkam dan menghancurkan semua yang 8 tahun terakhir sudah dibangun. Tanpa malu, mereka serempak bernyanyi “Tolak politik identitas”, “tidak ada polarisasi”, sementara mereka sendirilah yang melakukannya. Untuk apa? Mencuri suara nasionalis, dan pendukung kebhinekaan.
Para aktifis dan “orang baik” yang mendukung Jokowi pasti mendukung dibersihkannya Kepolisian,dan keadilan bagi Joshua dan keluarga. Tapi tidak semua yang mendukung Joshua, dan menyudutkan kepolisian, minta turun kapolri memiliki “niat baik” atas negeri ini. Mereka hanya mau menggunakan celah ini untuk mencuri angka buat 2024. Sumpek melihat mereka ini. Tapi itulah politik.
Bagaimana dengan media? Lupakan media. Mereka sudah tidak bisa lagi dipercaya 100% kita harus waras sendiri dan terus menjaga kesadaran. Media hanya menggoreng untuk kepentingan bisnis. Sedih, tapi itu realitas pahit yang harus kita sadari. Ini waktunya kita buat lingkaran-lingkaran yang bisa dipercaya dan rajin untuk saling memberikan informasi yang lebih bisa dipercaya. Sosial media memungkinkan itu.
2024 akan keras, tetapi sekali lagi silent majority akan bangkit, dan bersama-sama kita LANJUTKAN! Pembangunan Indonesia Baru.
Pendekar Solo
Coretan Lain:
- Ahok Komut Pertamina Membuktikan Ketidakadilan Hukum Di Indonesia?
- FPI Lebih Nasionalis Dari Agnez Mo?
- Hitungan Politik Jokowi : Ganjar atau Prabowo?
- Rocky Gerung Memperlihatkan Realitas Pemilu 2024
- Dinasti Jokowi : Fadli Zon, Fahri Hamzah, Gibran, dan Bobby