Sampai Dimana Pemilihan Presiden Amerika?

Hari ini tanggal 6 Januari 2021, kalau jam Amerika berarti nanti malam, bagi paman Sam adalah The D-day.  Sejak Nov 3, 2020, jadi sekitar sebulan setelah pilpres Trump vs Biden dilakukan. Bagi yang tidak mengikuti pasti bertanya-tanya, bukankan Joe Biden & Kemala Harris sudah menang, mengapa masih ada the D day?

Kekuatan media arus utama (CNN, AP, ABC, NBC, Disney, sampai Fox) ditambah Big Techs Google, FB, Twitter, Youtube, dll telah membuat kita semua semakin sulit melihat kebenaran.  Kaki & tangan media dan IT platforms ini sudah sampai global.  Media-media Indonesia pun hanya membebek, apa yang dianggap bisa menambah “klik”.   Realitas ini harus segera diantisipasi, alternatif kanal penyaluran berita harus mulai dikerjakan.

Berbeda dengan Indonesia, pilpres Amerika, memiliki tahapan-tahapan konstitusi yang lebih kompleks.  Di Indonesia, pilpres berdasarkan pemilihan langsung (popular vote), kemudian menggunakan quick count untuk “memproyeksi” hasil dari pemilihan, sebelum disertifikasi KPU (Komisi Pemilihan Umum).  Apablia tidak puas, maka ada tahap untuk mencari kebenaran di Mahkamah Konstitusu (MK).  Setelah itu, apapun hasilnya KPU akan menentukan pemenang secara konstitusional dan legal.  Selesai.

Sebelumnya, pilpres di Indonesia sebelum SBY, menggunakan sistem perwakilan.  Jadi, rakyat memilih partai, kemudian partai memilih wakil-wakilnya kemudian di rapat paripurna MPR/DPR akan ditentukan siapa Presiden-Wapres terpilih.  Sejarah mencatat, bahwa Gus Dur menjadi presiden karena manuver politik Amien Rais yang disebut Poros Tengah, kemudian dijatuhkan oleh Poros Tengah juga.  Itulah terakhir, kita memakai sistem pemilihan tidak langsung.

Bagaimana Dengan Amerika?

Amerika secara singkat bisa disebutkan bahwa pemilihan berdasaral Electoral Vote, masing-masing state (negara bagian atau mirip dengan provinsi) memiliki jumlah EV tertentu, yang sudah ditentukan konstitusi.  Tahap pertama mirip dengan pemilihan langsung, rakyat memilih Trump vs Biden (sbg contoh).  Itu dilakukan tanggal November 3, 2020 yang lalu.

Setelah itu, tahap kedua, harus ada sertifikasi dari negara bagian.  Disinilah kekisruhan dimulai.  Media & Big IT, dengan cepat memberikan faith accompli kemenangan Biden, dan menyensor semua berita tentang belum tersertifikasinya beberapa negara bagian seperti GA, PA, etc.  Akhirnya memuncak sampai tahap masing-masing negara bagian mengirimkan ke Electoral Voter ke Electoral College, tanggal Des 14, 2020.

Ditanggal 14 ada beberapa negara bagian yang mengirim 2 Electoral Voter (dispute).  Tugas dari EV adalah menjadi perwakilan untuk memilih berdasarkan hasil pemilihan awal.  Misalnya, Texas menang Trump, akan mengirim EV untuk memilih Trump.  Tapi bisa juga EV tiba-tiba memilih Biden meskipun itu jarang, tapi secara konstitusi ada yang disebut faithless voters.

Lagi-lagi media dan big IT tidak memberitakan hal ini, maka tahap selanjutnya adalah tanggal 23 Desember 2020, Mike Pence sebagai wapres menurut konstitusi memanggil semua hasil dari Electoral College.  Tanggal 23 Desember, tenang.  Tidak ada gerakan apapun dari Pence, maka semua akhirnya mengkerucut kepada joint session of conggress tanggal 6 Januari ini untuk mensertifikasihasil Electoral College tanggal 14 Desember.  Ditanggal ini, Mike Pence akan memimpin “rapat paripurna”, dan dari pihak Trump mengharapkan Pence berani untuk “menunda sertifikasi” dan memerintahkan berdasarkan permintaan dan dispute yang masuk untuk audit ulang negara-negara bagian yang tidak sepakat.

Perlu dicatat, ini semua sesuai prosedur konstitusi Amerika.  Artinya, tidak satu langkah pun yang dilakukan Trump yang melanggar konstitusi.  Ini pun tidak dipotret oleh media, bahkan disensor Big IT.  Mereka justru mendeklarasikan bahwa sudah final, Biden sudah resmi jadi presiden.  Hal ini yang membuat “kemarahan” dari silent majority, sehingga tanggal 6 Januari terjadi demo besar di Washington DC, yang juga tidak disiarkan.

Apa yang bisa terjadi tanggal 6 ini?  Menurut konstitusi Amerika, apabila tidak terjadi kesepakatan maka masing-masing negara bagian (50 jumlahnya) memiliki hak 1 suara dan melakukan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.  Bagaimana hasil Nov 3, Des 14? Tidak terpakai.  Semua ditentukan tanggal 6 ini.  Persis pemilihan tidak langsung di sidang paripurna MPR/DPR.  Ini pun tidak tercover di media utama Amerika, apalagi Indonesia.   None.  Mengerikan bukan?

Apa Yang Bisa Dilakukan Trump?

Ada tiga jalur: konstitusional, legal, dan martial law.  Selama ini yang ramai diberitakan adalah soal electoral fraud, bahwa Trump tidak mau turun, kemudian mengada-ada.  Mirip Prabowo kemarin, itu tuduhan para netizen tidak mengerti konstitusi Amerika yang kemudian mencoba membanding-bandingkan apel dan durian.  Kebodohan memang ganas, lebih menular dari Covid19.

Semua urusan legal diserahkan tim Rudi Giulianni, dan yang informal dikerjakan oleh Gen. Lin Wood dan Sidney Powell.  Banyak sekali tuntutan-tuntutan, sampai tulisan ini masih ada yang belum selesai. Bahwa mayoritas terlihat Trump kalah, itu benar.  Karena apa yang terjadi sekarang, adalah bola liar. Pihak Demokrat dan RINO (Republican in Name Only) mungkin tidak menyangka Trump akan berani tetap tidak mengaku kalah sampai titik konstitusi terakhi ini.  Karena konsekuensinya sekarang, adalah bisa perang sipil, alias Amerika tercerai berai.

Kembali ke Trump.  Ada yang berpendapat untuk Trump segera menggunakan executive power-nya sebagai Presiden Amerika untuk mendeklargasikan martial law (emergency) dan memerintahakn untuk segera audit ulang, dan semua bukti-bukti fraud secara tranparan dibuka.  Tapi, sampai detik ini, beberapa jam sebelum tanggal 6 di US, Trump memilih jalur konstitusi murni, dan sambil terus menekan kasus-kasus legalnya.

Bagaimana hasilnya? Secara de jure kita masih menunggu, tapi secara de fakto kita melihat dukungan ke Trump 74 juta voters, lebih dari Obama sekitar 10 juta voters.  Sekarang ini, secara kekuatan populer Trump mirip Jokowi, memiliki kekuatan sosial yang sangat kuat.  Bedanya, Jokowi didukung PDI-P sepenuhnya, Trump tetap harus melawan Demokrat ditambah RINO yang ternyata tidak kalah banyak dari lawan yang sebenarnya.

Apa Yang Bisa Kita Lakukan?

Cari dan Beritakan kebenaran.  Jangan asal dukung Trump atau Biden karena kepentingan pribadi atau personal flavor.  Apa yang terjadi di Amerika adalah sebuah percontohan apa yang akan terjadi di Indonesia 2024.  Dengan menguatnya Globalist Kiri, dan juga mulai tertekanya radikalisme di Indonesia, kemungkinan besar dalam 3 tahun kedepan, Indonesia akan semakin “terbuka”, perusahan-perusahan besar akan masuk Elon Musk, Google, FB, dsb.  Mereka juga sudah memindahkan head quarter ke Texas yang konservatif dari Silicon Valley. Tujuannya? Membirukan Texas!

Perang ideologi yang sangat keras dengan media sebagai proxy.  Parpol pun menjadi sangat bergantung denga “buzzer”.  Masihkan kita tidak percaya? Cari sendiri sumber-sumber berita langsung ke akun pribadi yang bersangkutan, pelajar sendiri, dan simpulkan sendiri.  Anggap semua media adalah media opini.  Skeptis? Cautios adalah kata yang lebih saya pilih.  Berhati-hatilah, kebohongan ada disemua media.  Kita doakan, kehendak Tuhan terjadi, di Amerika seperti di Surga.

Prayerfully,

Hanny Setiawan

Coretan Lain:

Please follow and like us: