Restorasi Teologi Israel: Menemukan Keseimbangan antara Kovenan dan Dispensasasi

Sejarah teologi Kristen sesungguhnya adalah kisah tentang kesetiaan Allah yang berjalan di antara janji dan penggenapan. Di sana tersimpan ketegangan panjang antara Israel dan Gereja — dua komunitas yang berasal dari akar yang sama, namun tumbuh dalam arah yang berbeda. Dari pergulatan itu lahirlah dua sistem besar: Teologi Kovenan dan Teologi Dispensasi. Keduanya berusaha menjelaskan bagaimana Allah bekerja dalam sejarah, meski sering kali terjebak pada sisi ekstrem. Di balik perdebatan ini, berdiri bayangan lama yang lebih gelap — Replacement Theology, atau gagasan bahwa Gereja telah menggantikan Israel. Kini, sudah waktunya teologi Kristen memulihkan keseimbangannya: bukan mengganti, melainkan merestorasi pemahaman tentang Allah yang setia kepada umat-Nya sepanjang zaman.

Pada awalnya, pengikut Yesus hanyalah bagian dari Yudaisme. Gereja Yerusalem hidup dalam ritme Torah, sambil mengakui Yesus sebagai Mesias yang dijanjikan. Namun, sejarah berbelok tajam ketika Bait Allah runtuh pada tahun 70 M, dan pemberontakan Bar Kokhba meledak enam dekade kemudian. Kekaisaran Romawi menekan keras identitas Yahudi, mengganti nama Yehuda menjadi Syria Palaestina. “Israel” dihapus, bukan hanya dari peta, tetapi dari kesadaran publik. Dalam situasi itu, komunitas Kristen non-Yahudi mulai tumbuh mandiri, menjauh dari akar Yudaismenya, dan perlahan membangun teologi yang terpisah.

Ketegangan makin membara ketika doa Birkat ha-Minim dimasukkan dalam liturgi sinagoga. Doa ini mengutuk para minim — kaum yang dianggap sesat, termasuk mereka yang percaya kepada Yesus. Pengikut Kristus dikeluarkan dari sinagoga, dan Gereja pun mulai membentuk liturginya sendiri. Saat Konsili Laodikea berlangsung pada abad ke-4, garis pemisah itu sudah lengkap: umat Kristen dilarang merayakan Sabat dan hari-hari raya Yahudi. Di titik inilah muncul gagasan “Israel rohani” — sebuah konsep yang menggeser posisi Israel historis dan menandai lahirnya Replacement Theology.

Dalam teologi Latin, ide ini menemukan bentuk mapannya. Augustinus dalam City of God menulis bahwa Gereja adalah Israel sejati; janji Allah kepada bangsa Ibrani telah tergenapi secara rohani di dalam Kristus. Pandangan ini memberi Gereja posisi teologis baru, tetapi juga melahirkan jarak historis dan emosional terhadap bangsa Yahudi. Selama berabad-abad, Gereja Barat hidup dalam paradigma penggantian — dengan keyakinan bahwa Allah telah beralih dari Israel kepada Gereja sebagai umat perjanjian baru.

Namun, sejarah berputar. Pada abad ke-19, muncul arus korektif dari Inggris — Dispensationalism. John Nelson Darby dan para teolog Plymouth Brethren menegaskan bahwa janji Allah kepada Israel bersifat kekal dan tak dibatalkan. Mereka membaca Alkitab secara progresif: Allah bekerja dalam dispensasi yang berbeda, namun tujuan akhirnya tetap satu — pemulihan segala sesuatu dalam Kristus. Ketika negara Israel berdiri kembali pada tahun 1948, banyak kalangan Injili menganggapnya sebagai tanda penggenapan nubuat. Dunia teologi kembali bergolak.

Kedua pandangan ini sama-sama mengandung kebenaran yang penting. Teologi Kovenan menekankan kontinuitas janji Allah, sedangkan Dispensasi menyoroti dinamika sejarah penyelamatan. Namun keduanya juga bisa menjadi bumerang jika berdiri sendiri: Kovenan berisiko meniadakan peran historis Israel; Dispensasi cenderung memisahkan terlalu tajam antara Israel dan Gereja. Di sinilah Restorasi Teologi Israel menjadi kebutuhan zaman — sebuah usaha menemukan keseimbangan yang menghargai kesetiaan Allah sekaligus progresivitas karya-Nya.

Paulus memberi fondasi yang jernih. Dalam Roma 11, ia menyebut Israel sebagai “pohon zaitun asli” yang tidak boleh dipandang rendah. Gereja, kata Paulus, hanyalah cabang liar yang dicangkokkan ke dalamnya. Allah tidak pernah menolak Israel; Ia menunda pemenuhannya “sampai genapnya bangsa-bangsa lain masuk.” Gambaran ini bukan metafora politik atau etnis, melainkan hermeneutika kasih karunia. Gereja dan Israel tidak sedang bersaing; keduanya adalah dua sisi dari satu kisah penebusan.

Restorasi teologi berarti kembali menempatkan Allah sebagai pusat, bukan sistem. Ini bukan gerakan sentimental terhadap Israel, melainkan pembacaan ulang terhadap karakter Allah: setia pada janji-Nya, konsisten dalam kasih-Nya. Melalui Kristus, seluruh rencana kovenantal Allah mencapai puncaknya, tetapi tidak berhenti di sana. Ia membuka ruang bagi bangsa-bangsa untuk ikut serta tanpa menghapus perjanjian yang telah ada.

Maka, keseimbangan antara Kovenan dan Dispensasi bukanlah kompromi, melainkan penyingkapan struktur kasih Allah yang lebih dalam. Kovenan menjaga kesinambungan, Dispensasi menegaskan dinamika. Keduanya bertemu di dalam Kristus — pusat dari seluruh sejarah penebusan. Di dalam Dia, Israel dipulihkan, Gereja diperluas, dan dunia diperbarui.
Restorasi ini menuntut perubahan cara pandang Gereja modern. Bukan lagi melihat Israel sebagai simbol masa lalu, tetapi sebagai mitra dalam rencana kekekalan. Bukan pula terjebak dalam romantisme profetik, tetapi dalam ketaatan kepada Allah yang berdaulat. Seperti tertulis, “Karunia dan panggilan Allah tidak dapat ditarik kembali.” Inilah nada dasar teologi yang utuh: satu Allah yang setia, satu umat yang beraneka, satu sejarah yang menuju penggenapan di dalam Kristus — Raja atas Israel dan Gereja sekaligus.

#RestorationTheology #RestorasiTeologi #IsraelAndTheChurch #GerejaDanIsrael #FaithfulGod #AllahYangSetia #ChristTheCenter #KristusPusatSegalaSejarah

Coretan Lain:

Please follow and like us: