18 Maret 2025 bisa dikatakan hari terakhir eforia “kemenangan” pemilu Prabowo-Jokowi-Gibran. Rontoknya IHSG (Indeks Harga Saham Gabungan) di BEI (Bursa Efek Indonesia) sampai menyentuh 7%, yang akhirnya membuahkan suspensi dari pasar modal Indonesia. Jatuhnya harga saham secara tidak langsung menjadi kemenangan perlawanan terhadap koalisi “joget bersama”.
Sudah sejak Putusan 90 MK yang memberi jalan kepada Gibran, bergabungnya Prabowo-Jokowi yang jelas-jelas demi kepentingan politik, lahirnya parcok, konsolidasi politik kasar (take over PSI, Golkar), tragedi bansos ratusan triliun, bau amis pelaksanaan pemilitu sendiri, cawe-cawe Prabowo-Jokowi di Pilkada, sampai kepada akhirnya kabinet gendut dan puncaknya lahirnya Danantara, pihak oposisi perlawanan telah mengingatkan bahwa saatnya akan tiba, Indonesia tidak baik-baik saja. Indonesia sakit.
Rontoknya IHSG tidak terjadi begitu saja, tapi memang sejak Pemilu 2024, sampai hari ini kebijakan-kebijakan “ugal-ugalan” yang tidak mengindakan nurani masyrakat silih berganti seperti air bah. Dan perlu digarisbawahi penurunan IHSG sudah terjadi sejak 2024. Pasar modal Indonesia mengalami penurunan drastis dalam waktu singkat, dengan IHSG anjlok dari 7.904 pada November 2024 ke 6.246 pada Februari 2025, disertai penurunan signifikan harga saham unggulan seperti BBTN yang merosot 78,5%.
Artinya, apa yang paling ditakutkan sudah terjadi. Krisis kepercayaan terhadap pemerintahan Prabowo-Gibran sudah teraktivasi dan hal ini bisa membuat permasalahan sistemik bangsa. Ingat, bank-bank BUMN besar di Danantara adalah blue chip yang sudah rontok sejak awal 2024. Perhatikan harga saham-saham blue chip berikut:
- BMRI: Rp7.550 → Rp4.550 (-39,7%)
- BBRI: Rp6.450 → Rp3.360 (-47,9%)
- BBCA: Rp10.950 → Rp8.425 (-23,1%)
- BBTN: Rp3.890 → Rp835 (-78,5%)
- ISAT: Rp3.060 → Rp1.470 (-52%)
- TPIA: Rp11.225 → Rp6.350 (-43,4%)
Kondisi sepert ini harusnya pemimpin didepan. Bukan sembunyi dan hanya mengeluarkan buzzer-buzzer atau tameng-tameng politik seperti Cobuzier, Dasco, bahkan Sri Mulyani. Krisis ini ditujukan kepada Prabowo. Gibran sudah tidak masuk hitungan, karena memang dianggap “unthul bawang” dan hanya jadi proxy Jokowi. Baik bagi oposan maupun pendukung, Gibran hanya sebuah kebetulan politik sebagai anak Jokowi.
Harapan untuk untuk Prabowo di masa tuanya melakukan yang benar, dan setelah berpuluh tahun akhirnya diberi kesempatan untuk menjadi pemimpin Indonesia tertinggi masih tinggi diawal kemenangan. Tapi sejak “Ndasmu” dan lebih parah sorakan “Hidup Jokowi”, harapan itu sudah memudar, dan sekarang hampir pupus. Jadi, saat ini Indonesia butuh pemimpinnya bicara, menenangkan, dan mengatur dengan wibawa dan otoritas yang telah diberikan. Jangan hanya diam!
Diamnya Prabowo, atau ngawurnya omongan Prabowo adalah dua hal yang sangat mematikan bagi Pemerintahannya. Sebagai pemimpin tertinggi, Prabowo harus belajar berbicara seperti layaknya seorang pemimpin bangsa. Bukan lagi kampanye, tidak lagi partisan, tapi untuk Indonesia Raya, seperti semangat Gerindra untuk menggelorakan Gerakan Indonesia Raya. Tapi sejauh ini, semangat itu tidak terlihat. Yang terasa hanyalah, Prabowo yang nun jauh disana, dikelilingi “orang-orang” seperti Teddy, Dasco, bahkan Jokowi. Speak it Up, Mr. President! Lead this Nation!
Pendekar Solo
Coretan Lain:
- Penurunan IHSG Sejak Prabowo – Gibran Dilantik
- Keanehan Logika Politik : Menerima Prabowo, Menolak Anies
- Politik Toleransi Gibran Melawan Politik Identitas
- Blunder Kemarahan Prabowo Merusak Skenario Jokowi
- Gibran, Simbol Keberhasilan atau Kegagalan Alih Generasi?