ISRAEL – INDONESIA: ANTARA IDEOLOGI, KEYAKINAN, DAN POLITIK

Israel adalah pusat dunia. Entah disengaja atau tidak, realitas politik global selalu berakhir pada satu poros: eksistensi dan peran Israel. Negara kecil yang hanyalah “one little dot” di peta dunia ini justru menjadi episentrum geopolitik sejak berdirinya kembali pada tahun 1948. Di tengah peta bangsa-bangsa, Israel adalah anomali kecil dengan dampak besar.

Hari ini, isu global kembali mengerucut pada Perang Gaza—konflik yang meledak setelah serangan teror Hamas pada 7 Oktober 2023. Upaya perdamaian yang diinisiasi Donald Trump memicu eskalasi geopolitik yang memperlihatkan betapa sentralnya posisi Amerika dalam isu Timur Tengah. China, Rusia, Timur Tengah, bahkan Eropa ikut bergolak. Martirnya figur seperti Charlie Kirk—yang dianggap simbol “pro-Israel” oleh sebagian kalangan—kian memicu sentimen global. Dua kubu pro dan anti-Israel turun ke jalan, sementara pihak ketiga—Muslim Brotherhood—tidak bisa disembunyikan kemunculannya; mereka membawa agenda politik transnasional yang melampaui sekadar isu kemanusiaan.

Dalam dinamika global yang memanas ini, langkah Indonesia melalui pernyataan Prabowo di Sidang Umum PBB cukup mengejutkan. Ia menyatakan bahwa Indonesia akan melindungi Israel, bila Israel mengakui Palestina. Sebuah langkah maju yang tidak hanya menyerukan pengakuan terhadap Palestina, tetapi juga menandakan perubahan nada terhadap Israel. Mengakui keduanya.

Namun, konteks domestik Indonesia jauh lebih rumit. Isu kehadiran atlet senam Israel yang akan bertanding di Indonesia kembali mengguncang politik nasional—mengingatkan pada kasus Piala Dunia U-20 tahun 2023, yang kala itu mengguncang posisi Ganjar dan PDIP. PDIP tetap konsisten menolak, dan Gubernur DKI Pramono Anung menegaskan bahwa visa seharusnya tidak diberikan, dengan alasan: “Sikap kami adalah pilihan konstitusional.”

Penolakan terhadap Israel umumnya berakar dari keyakinan keagamaan, terutama di kalangan umat Islam. Sebaliknya, dukungan terhadap Israel lebih sering muncul dari kalangan Kristen. Dengan demikian, faktor iman dan keyakinan memainkan peran besar—dan inilah yang paling rawan dipolitisasi. Bagi politisi pragmatis, isu ini bukan soal benar atau salah, melainkan soal bagaimana mengelola narasi dan momentum.

Dalam peta politik nasional, tiga kelompok besar kini berhadapan: ideologis, agamis, dan pragmatis.
PDIP menempati posisi ideologis; kelompok fundamentalis berangkat dari semangat keagamaan; sedangkan Jokowi dan lingkarannya lebih condong pada pragmatisme politik. Prabowo sejatinya berangkat dari dasar ideologis, namun karena konfigurasi politik dan kedekatannya dengan Jokowi, ia kini tampak menempuh jalur pragmatis.

Langkah-langkah Jokowi pun menunjukkan manuver halus menuju kelompok anti-Israel—mulai dari pertemuannya dengan Abu Bakar Ba’asyir hingga penunjukan Bahlil sebagai Ketua Pemuda Masjid. Dalam politik praktis, kelompok nir-ideologi ini umumnya tidak terlalu peduli pada arah ideologis; yang penting posisi aman, kekuasaan terjaga, dan keuntungan tetap mengalir.

Namun di atas semua kepentingan itu, Indonesia sesungguhnya sedang berada di titik krusial dalam menentukan arah moral politik luar negerinya. Apakah tetap bertahan dalam paradigma lama yang hanya reaktif, atau mulai berani memposisikan diri sebagai mediator moral di tengah bangsa-bangsa?

Seperti diusulkan Ganjar dalam acara Mata Najwa ketika membahas kasus U-20: Indonesia perlu duduk bersama—antara pihak yang menolak, mendukung, maupun yang abu-abu terhadap Israel. Secara hukum dan ideologis, posisi PDIP tetap konsisten dengan prinsip konstitusional Indonesia yang hingga kini belum membuka pengakuan terhadap Israel. Maka, bila ingin melangkah ke arah yang baru, dibutuhkan terobosan konstitusional yang disepakati lintas kubu.

Namun arah baru itu tidak boleh sekadar politik, melainkan juga moral dan historis. Indonesia perlu berdiri di tengah dunia bukan sebagai bangsa yang terombang-ambing oleh tekanan ideologis, tetapi sebagai bangsa yang menegakkan keadilan dan kebenaran dengan hati nurani Asia yang tercerahkan. Mengakui Palestina bukan berarti menolak Israel; dan mengakui Israel tidak harus mengkhianati Palestina. Dua bangsa itu ibarat dua kutub kemanusiaan yang menantang dunia untuk berdamai.

Mungkin sudah waktunya Indonesia berhenti hanya bereaksi, dan mulai menjadi penengah profetik—sebuah bangsa yang menafsirkan politik luar negeri bukan sekadar diplomasi kepentingan, tetapi panggilan sejarah untuk membawa damai di antara umat manusia.

#Israel #Indonesia #Geopolitics #FaithAndPolitics #MiddleEast #GlobalDiplomacy #Prabowo #Trump #PDIP #Palestine #IsraelConflict #Ideology #Religion #WorldPolitics #HannySetiawan

Coretan Lain:

Please follow and like us: