Judul artikel seperti ini pasti mengundang para guru agama dan teologi mencak-mencak dan marah-marah. Tapi sebelum marah-marah, coba kita berhenti sejenak dan merenung.
Exegesis budaya populer (pop culture) adalah salah satu tugas dalam pelayanan “zaman now” dan kekinian. Saya pribadi waktu pertama kali belajar hal ini kaget-kaget. Mengapa harus belajar lagu “dunia” untuk mengerti jeritan dan “suara generasi”?
Tetapi, buku Virtual Faith: The Irreverent Spiritual Quest of Generation X dari Tom Beaudoin memperlihatkan sebuah dimensi baru dalam melihat budaya populer. Ada suara dan teriakan yang tanpa disadari adalah jeritan hati yang mungkin gereja, mesjid, kelenteng, pura, ataupun tempat-tempat religus tidak mampu menampung ungkapan hati.
Disinilah posisi para seniman seperti alm. Didi Kempot, ataupun Glen Fredly, Elvis Presly, John Lennon, , Nike Ardilla, sampai Bob Marley yang seakan-seakan sedang mencoba mengatakan sesuatu rahasia kepada kita. Mungkinah ini “suara Tuhan” untuk kita, tapi kita sendiri tidak mampu untuk mengartikannya, bahkan mungkin mereka sendiri tidak menyadari sedang menjadi mulut surga?
Fokus kepada karya-karya Didi Kempot yang digelari The Godfather of Broken Heart dan mampu mengumpulkan “umat virtual” dengan sebutan Sobat Ambyar yang sekarang mungkin jumlahnya bisa jutaan. Sampai lagu terakhir almarhum yang baru direkam sehari lalu yaitu “Kapusan Janji”, Didi Kempot selalu menyuarakan patah hati, ketidaksetiaan kekasih, penyelewengan, dan kepahitan percintaan.
Sebenarnya tidak berbeda jauh dengan alm. Glenn Fredly yang baru-baru juga dipanggil pulang. Dan realitasnya bagi produser dan para pemodal lagu-lagu bertemakan itu yang masih laris dipasaran. Pesan apakah yang tersembunyi dibalik lagu-lagu yang mengharu-biru itu? Atau memang hanya sekedar komersial?
Dalam kasusnya Didi Kempot, lagu patah hati yang dikemas dalam musik campursari menjadi sangat unik. Karena hancurnya hati “dijogeti aja” dan itu yang membuat lahirnya para Sobat Ambyar. Ditambah, penggunaan bahasa Jawa sebagai medium, bukan bahasa Indonesia membuat Didi Kempot menjadi “suara suku” yang sangat menggoncangkan.
Bahkan, lagu “Ojo Mudik” yang dinyanyikan bersama Walikota Solo menjadi lagu yang dipakai untuk mempengaruhi perilaku masyarakat. Bukan dengan ancaman hukuman, tapi dengan lagu campur sari. Sebuah pendekatan sosial politik yang mungkin hanya di Indonesia dalam menghadapi Covid19.
***
Cerita-cerita ketidaksetiaan dan patah hati ternyata juga menjadi tema cerita utama dalam Kitab Suci. Ketidaksetiaan Israel, dan Tuhan yang cemburu menjadi narasi besar dan cerita Tuhan yang hatiNya selalu dibuat ambyar oleh ketidaksetiaan kita.
Mari kita lihat lagu Pamer Bojo yang sangat terkenal. Lagu itu sangat enak buat joget, meskipun isinya tentang sebuah pengkhianatan cinta, sampai selingkuhan yang disimpan di lemari.
Koyo ngene rasane wong nandang kangen
Rino wengi atiku rasane peteng
Tansah kelingan kepingin nyawang
Sedelo wae uwis emoh tenan
Cidro janji tegane kowe ngapusi
Nganti seprene suwene aku ngenteni
Nangis batinku, nggrantes uripku
Teles kebes netes eluh neng dadaku
Dudu klambi anyar sing neng njero lemariku
Nanging bojo anyar sing mbok pamerke neng aku
Dudu wangi mawar sing tak sawang neng mripatku
Nanging kowe lali nglarani wong koyo aku
Nengopo seneng aku yen mung gawe laraku
Pamer bojo anyar neng ngarepku
Sekarang bayangkan, lagu itu Tuhan yang sedang menyanyi. Apakah jangan-jangan Tuhan sedang patah hati melihat tingkah kita manusia, dan dia kangen untuk bicara dengan kita? Tapi ketika Dia mau bertemu ternyata kita, “Emoh Tenan”?
Janji-janji kita kepada Tuhan yang selalu kita cederai, kita selalu “ngapusi” Tuhan sampai klimaksnya “pamer bojo anyar”. Gila tidak kita yang selalu bangga dengan kekayaan, kesuksesan, dan keberhasilan bagaikan “pamer bojo” kepada Tuhan kita?
Ketika pemahaman ini muncul, kepergian Didi Kempot menjadi sangat berarti bagi saya pribadi. Suatu pesan yang profetis bagi kita semua untuk kembali kepada kasih mula-mula kita. Dia Tuhan yang selalu setia ketika kita tidak setia, dan berteriak. Kembalilah! Ini Aku.
Aku akan menjadikan engkau isteri-Ku untuk selama-lamanya dan Aku akan menjadikan engkau isteri-Ku dalam keadilan dan kebenaran, dalam kasih setia dan kasih sayang. Aku akan menjadikan engkau isteri-Ku dalam kesetiaan, sehingga engkau akan mengenal TUHAN.
Maka pada waktu itu, demikianlah firman TUHAN, Aku akan mendengarkan langit, dan langit akan mendengarkan bumi. (Hosea 2:18-20)
Hanny Setiawan
Coretan Lain:
- Menari Dengan Tuhan
- Membangun Peradaban Baru
- Menemukan Tuhan Di Sion
- Untuk Mereka Yang Men-FU*K-sinkan Vaksin
- Church From Home, Sebuah Respon Atas Panggilan Era Baru