Kasus Rocky Gerung terus bergulir. Bukan hanya para relawan, tetapi PDI-P pun secara hukum secara serius menggarap kasus ini. Bukan hanya secara substantif (penghinaan), ataupun politis (baca: Rocky Gerung Memperlihatkan Realitas Pemilu 2024), tetapi dampak sosiologis atau budaya tidak bisa diremehkan begitu saja.
Respond Jokowi & keluarga sendiri seperti biasa, sangat politis aja standar “gaya Jokowi”. Secara pribadi kita dukung respond yang ngayomi dan tidak emosional. Tetapi, perlu diingatkan juga, seperti yang Gerung sendiri katakan, bahwa yang dituju dari “Bajingan Tolol” bukanlah pribadi Jokowi, tetapi Presiden Jokowi.
Sebab itu, secara riil memang yang dihina sebenarnya adalah rakyat Indonesia bukan Jokowi. Dalam konteks itulah, memang lebih baik kasus ini dituntaskan secara hukum. Apabila tidak, pemilu 2024 yang diharapkan bisa riang gembira justru akan semakin keras karena ulah orang-orang seperti Gerung ini akan merajalela.
Dengan memproses Gerung ke jalur hukum, maka akan ada pembelajaran politik hukum yang bagus untuk seluruh rakyat Indonesia, terutama untuk pemilu 2024. Substansi kritik tidak harus dikurangi, tapi intonasi dan bahasa yang harus diperhatikan sehingga mencerminkan adab dan budaya nusantara.
Berhubungan dengan adab dan budaya itulah sebenarnya kita bisa melihat bahwa kasus “Bajingan Tolol” ini tidak sesederhanya kasus pribadi, hukum, ataupun politik. Tetapi, telah menjadi kasus budaya yang apabila tidak dituntaskan akan menjadi norma. Artinya, masyarakat kita yang konon mayoritas sudah Gen Z, akan mengganggap bahwa “Bajingan Tolol” adalah kosa kata yang “biasa aja” dan “hal kecil” Respond seperti ini salah besar!
Tak kurang beberapa politisi pengamat seperti Budiman Sudjatmio, Irma Chaniago, dan Rhenald Kasali mengkritik keras diksi “Bajingan Tolol” Artinya, bagi orang-orang waras itu tidak biasa, dan tidak kecil.
Secara budaya, bisa dibayangkan ketika anak-anak kita di SMA, dan Kampus mulai menggunakan kata “Bajingan Tolol” ketika beradu argumentasi diruang-ruang akademis. Atau bahkan mengata-ngatai Dosen, dan teman yang berbeda pemikiran dengan kata-kata kotor itu. Artinya penerimaaan terhadap diksi “Bajingan Tolol” dan kalimat-kalimat setara akan diterima Gen Z sebagai sebuah norma biasa. Disitulah seharusnya kita semua (termasuk Jokowi dan keluarganya) sepakat mengatakan bahwa diksi “Bajingan Tolol” itu lebih baik tidak digunakan, dan jangan ada lagi. Bukan malah mengaminkan “ga pa pa”
Sebagai orang yang concern dengan Generasi Indonesia Baru, saya melihat sikap politis diam bahkan meremehkan pernyaaan “Bajingan Tolol” itu tidak bertanggung jawab dengan generasi Indonesia Baru yang membutuhkan contoh yang baik. Sebagai panutan, kita harus minimal memberikan petunjuk moral mana yang baik mana yang tidak.
Akankah kita katakan “biasa saja” ketika suatu kali Ustadz, Pendeta, Kiai, bahkan kita sendiri di-“pisuh-pisuhi” dengan deretan kata-kata kebun binatang yang lain? Sebab itu, lebih baik dituntaskan sehingga dalam proses itu, generasi ini bisa belajar bersama bahwa mengatakan “Bajingan Tolol” itu TIDAK BAIK.
Kalau soal pribadi, hukum, dan politik monggo masing-masing berpendapat. Tetapi sebagai Keluarga Indonesia Baru mari kita tolak bersama-sama budaya “mulut kotor” di ruang publik! Tuntaskan.
Pendekar Solo
Coretan Lain:
- Arti Politis Permintaan Maaf Rocky Gerung
- Rocky Gerung Memperlihatkan Realitas Pemilu 2024
- Politisisasi Kasus Sambo, Menuju Pemilu 2024
- Ikut Berdukacita, RIP #OrdeReformasi
- Ahok Komut Pertamina Membuktikan Ketidakadilan Hukum Di Indonesia?