Tuduhan bahwa Israel adalah penjajah telah menjadi narasi populer di dunia internasional, terutama di ruang publik digital. Namun, jika dilihat dari perspektif sejarah dan hukum internasional, klaim tersebut tidak sesederhana itu. Legalitas berdirinya Negara Israel pada tahun 1948 justru lahir dari keputusan resmi PBB, bukan hasil penjajahan atau invasi sepihak.
Setelah Perang Dunia II, Inggris menyerahkan mandat atas Palestina kepada PBB. Pada 29 November 1947, Majelis Umum PBB melalui Resolusi 181 memutuskan pembagian wilayah menjadi dua negara: satu untuk Yahudi dan satu untuk Arab. Komunitas Yahudi menerima keputusan itu, sedangkan pihak Arab menolaknya. Penolakan inilah yang menjadi awal konflik modern di kawasan tersebut.
Ketika Israel memproklamasikan kemerdekaan pada 14 Mei 1948, negara-negara Arab langsung menyerang dari berbagai arah—Mesir, Yordania, Suriah, Lebanon, dan Irak. Namun, mereka kalah dalam perang itu. Ironisnya, setelah kekalahan, wilayah yang semestinya menjadi negara Palestina malah diduduki oleh negara-negara Arab sendiri: Mesir menguasai Gaza, dan Yordania menguasai Tepi Barat (West Bank) hingga 1967. Artinya, selama hampir dua dekade, bangsa Palestina tidak memiliki negara, bukan karena Israel menjajah, tetapi karena dunia Arab gagal membangun negara Palestina.
Sementara itu, Israel—yang lahir dari tanah gersang dan reruntuhan perang—membangun diri menjadi negara demokratis dan maju. Palestina justru terpecah antara Fatah di Tepi Barat dan Hamas di Gaza, dua faksi yang sering bertikai. Akibatnya, energi perjuangan mereka lebih banyak terkuras dalam konflik internal daripada membangun pemerintahan yang stabil.
Kini, setelah Israel menjadi kekuatan teknologi dan ekonomi besar di kawasan, narasi penjajahan kembali diangkat—seolah keberhasilan satu bangsa adalah hasil penindasan terhadap yang lain.
Padahal, secara hukum dan fakta sejarah, Israel berdiri secara sah berdasarkan keputusan internasional dan mempertahankan eksistensinya melalui perang defensif, bukan kolonialisme. Klaim teologis tentang “tanah perjanjian” memang ada, tetapi itu bukan dasar utama pembentukan negara Israel modern—dasar utamanya adalah keputusan politik dan hukum internasional yang diakui dunia.
Menyederhanakan konflik ini hanya dengan label “penjajah” dan “terjajah” bukan hanya menyesatkan, tetapi juga menutup jalan bagi perdamaian sejati. Perdamaian hanya bisa dibangun di atas pengakuan terhadap fakta sejarah dan tanggung jawab bersama, bukan pada narasi propaganda yang memelihara kebencian.
#Israel #Palestina #Sejarah1948 #KonflikTimurTengah #LegalitasIsrael #Geopolitik #FaktaSejarah #MiddleEastConflict #Jerusalem #PeaceForAll #HannySetiawan
Coretan Lain:
- Ajaib! Israel – UEA Berdamai Membuka Pintu Perdamaian Timur Tengah
- Dalam Konflik Israel Palestina, Apa Yang Seharusnya Dilakukan Pemerintah RI?
- ISRAEL – INDONESIA: ANTARA IDEOLOGI, KEYAKINAN, DAN POLITIK
- Mencegah Perang Dunia Ketiga
- Dua Orang Yahudi : Yesus dan Yudas