Dialektika Gnosis dan Epignosis: Membangun Epistemologi yang Dihidupkan oleh Roh Kudus

Teologi tidak pernah lahir dari ruang kosong. Ia tumbuh dari pergumulan manusia dengan wahyu Allah, melalui bahasa, budaya, sejarah, dan terutama pengalaman rohani. Di satu sisi, teologi adalah upaya rasional untuk memahami iman; di sisi lain, ia adalah jawaban eksistensial terhadap realitas Allah yang hidup. Ketegangan antara rasio dan pengalaman inilah yang sejak awal membentuk dialektika teologi Kristen — sebuah dialektika yang menemukan bentuknya dalam dua istilah Yunani yang sangat mendasar: *gnosis* dan *epignosis*.

Dalam sejarah gereja, *gnosis* sering diartikan sebagai pengetahuan atau pemahaman rasional atas iman. Ia adalah landasan bagi setiap refleksi teologis. Tanpa *gnosis*, tidak ada struktur berpikir yang mampu menampung kebenaran wahyu; tanpa pengetahuan, iman menjadi kabur dan mudah dipelintir. Karena itu, *gnosis* adalah titik berangkat setiap teologi yang sehat. Ia memampukan kita membedakan antara kebenaran dan kesalahan, antara wahyu dan opini, antara Allah yang benar dan ilah yang diciptakan pikiran manusia.

Namun, *gnosis* saja tidak cukup. Pengetahuan yang tidak dialami akan membeku menjadi dogma kering. Teologi yang tidak disertai perjumpaan akan kehilangan vitalitasnya. Di sinilah *epignosis* menjadi kunci. *Epignosis* bukan sekadar pengetahuan yang lebih tinggi; ia adalah pengetahuan yang *mengalami*, pengetahuan yang lahir dari *perjumpaan dengan Roh Kudus*. Paulus menulis bahwa ia berdoa agar jemaat “memiliki roh hikmat dan wahyu untuk mengenal Allah dengan benar” (*eis epignōsin autou*, Ef. 1:17). Artinya, pengenalan yang benar terhadap Allah bukan hasil spekulasi rasional, melainkan buah dari pencerahan Roh Kudus yang mengubah pengetahuan menjadi kesadaran eksistensial.

Epistemologi teologi yang hidup, karena itu, bukanlah epistemologi rasionalistik, melainkan *epistemologi pneumatologis* — suatu cara mengenal kebenaran yang dimediasi oleh Roh Kudus. Roh Kudus bukan hanya objek iman, melainkan agen pengetahuan. Ia menyingkapkan, mengingatkan, menegur, dan menyalakan kembali makna wahyu yang lama dalam konteks yang baru. Roh Kuduslah yang mengubah *logos* menjadi *rhema*, mengubah teks menjadi suara, dan mengubah konsep menjadi realitas yang dialami. Tanpa karya Roh Kudus, teologi kehilangan dimensi hidupnya, sebagaimana tubuh tanpa roh hanyalah jasad.

Inilah sebabnya teologi Pentakosta memiliki signifikansi yang profetis dalam lanskap teologi kontemporer. Ketika banyak tradisi teologis modern jatuh pada formalisme intelektual, Pentakosta menegaskan bahwa pengetahuan sejati hanya lahir dari pengalaman bersama Roh Kudus. Pengalaman itu bukan sekadar ekstasi emosional, tetapi perjumpaan transformasional yang membawa manusia mengenal Allah bukan hanya melalui kata, melainkan melalui kuasa. Dalam konteks ini, Pentakostalisme bukan sekadar aliran spiritualitas, tetapi paradigma epistemologis yang menuntut penyatuan antara pengetahuan dan pengalaman.

Namun, pengalaman tanpa dasar teologi yang kuat juga berbahaya. Roh yang dialami tanpa Firman yang dipegang dapat melahirkan mistisisme yang liar. Karena itu, *gnosis* tetap penting. Ia memberikan batas dan arah, menjaga pengalaman agar tetap berada dalam koridor kebenaran wahyu. Tetapi *gnosis* yang tidak diperbaharui oleh *epignosis* akan membatu menjadi tradisi yang kehilangan api. Maka, keduanya harus saling menembus — *gnosis* memberi struktur bagi iman, *epignosis* memberi kehidupan bagi struktur itu.

Proses ini tidak berhenti sekali saja. Dalam dinamika kerja Roh Kudus, *epignosis* selalu melahirkan *gnosis baru* — bentuk pengetahuan yang lebih mendalam, lebih kontekstual, dan lebih hidup. Teologi yang sejati bukanlah museum kebenaran, melainkan organisme yang tumbuh dalam terang wahyu yang sama. Setiap kali Roh Kudus menyentuh pengalaman umat Allah, *gnosis lama* diterangi ulang, dihidupkan kembali, dan dimaknai dalam horizon yang baru. Dengan demikian, teologi bukan sekadar sejarah ide, tetapi sejarah *perjumpaan* — sejarah bagaimana Allah terus menyatakan diri-Nya kepada manusia melalui Roh-Nya yang hidup.

Dari sinilah lahir dialektika suci antara *gnosis* dan *epignosis*. Gnosis memberikan dasar konseptual bagi iman, epignosis menghidupkannya, dan hasilnya melahirkan gnosis yang diperbaharui. Dialektika ini bukan sekadar perputaran intelektual, tetapi gerakan spiral yang naik ke arah kesempurnaan — ke arah *pleroma*, kepenuhan pengenalan akan Kristus (Kol. 1:9–10). Setiap tahap membawa gereja lebih dekat kepada realitas Allah, bukan dengan mengganti wahyu yang lama, tetapi dengan menghidupkannya kembali melalui pengalaman baru.

Karena itu, teologi yang benar tidak boleh berhenti pada level kognitif. Ia harus menjadi *teologi yang bernapas* — teologi yang dipimpin, diilhami, dan dihidupkan oleh Roh Kudus. Dalam setiap zaman, Roh yang sama berbicara kepada gereja, menafsirkan ulang kebenaran yang sama dalam konteks yang berubah. Tanpa Roh Kudus, teologi hanyalah simulasi kebenaran, sebagaimana kecerdasan buatan dapat menciptakan ilusi makna tanpa realitas. Tetapi dengan Roh Kudus, setiap pengetahuan menjadi perjumpaan, setiap doktrin menjadi api, dan setiap refleksi menjadi penyataan.

Maka, inti dari teologi bukanlah sekadar berpikir tentang Allah, melainkan berpikir *dalam* Allah — dalam dinamika Roh yang menyingkapkan misteri kasih dan kebenaran-Nya. Inilah epistemologi pneumatologis: sebuah kerangka berpikir yang menempatkan pengalaman bersama Roh Kudus sebagai pusat proses teologis. Melalui-Nya, teologi tidak menjadi sistem yang tertutup, tetapi jendela yang terbuka menuju realitas ilahi.

Pada akhirnya, setiap teolog yang sejati harus berani berjalan di antara dua dunia: dunia *gnosis* yang rasional dan dunia *epignosis* yang eksistensial. Ketika keduanya bersatu, maka lahirlah teologi yang benar—teologi yang *bernafas dengan Roh Kudus*, yang terus hidup, berubah, dan memperbaharui dunia melalui kebenaran yang dihidupi, bukan hanya dipahami.

“Gnosis memberi struktur bagi iman, Epignosis memberi kehidupan bagi struktur itu.” – Hanny Setiawan

Coretan Lain:

Please follow and like us: