Kelahiran Kembali “Soeharto”, Indonesia Mundur 60 Tahun

Tahun 1945 adalah titik kelahiran sebuah bangsa. Indonesia lahir dari rahim perjuangan, darah, dan ideologi yang bernama nasionalisme kerakyatan, buah pikir dan jiwa dari Soekarno, Bapak Indonesia. Ia tidak sekadar memerdekakan wilayah, tetapi juga melahirkan jiwa bangsa. Dalam dua dekade awal kemerdekaan (1945–1965), Soekarno membangun Indonesia bukan dengan ekonomi, melainkan dengan ide, mimpi, dan arah. Ia menanamkan kesadaran bahwa bangsa ini punya jati diri bukan sekadar pasar buruh bagi kekuatan asing.

Namun pada 1965, ide itu dimatikan secara politik melalui tragedi G30S/PKI. Karir politik, bahkan secara fisik Soekarno dihilangkan dari publik, tetapi rohnya tidak pernah mati. Ketika Bapak Bangsa dihilangkan, Indonesia menjadi negara yatim piatu. Sejak saat itu, kekuasaan berpindah dari ideolog ke oportunis. Dari penggagas masa depan, ke pengelola status quo.

Soeharto: Naiknya Pragmatisme, Matinya Ideologi

Soeharto bukan penerus Soekarno; ia adalah penghapusnya. Selama 32 tahun (1966–1998), ia berusaha menggantikan posisi “Bapak Bangsa” tanpa menjadi pemikir bangsa. Ia tidak punya ideologi, hanya naluri kekuasaan. Ia tidak melanjutkan visi kemerdekaan, tetapi menciptakan mesin kekuasaan yang steril dari kesadaran ideologis. Semua yang bernama pikir dianggap ancaman, semua yang bernama kritik dianggap subversif.

Soeharto adalah teknokrat kekuasaan, bukan negarawan. Ia membangun ekonomi dengan utang, membangun stabilitas dengan ketakutan, dan membangun loyalitas dengan korupsi. Hasilnya, Indonesia memang tampak tenang, tetapi di bawahnya mengendap luka yang dalam: demokrasi yang beku, rakyat yang takut berpikir, dan bangsa yang kehilangan arah spiritualnya.

Kontras Singapura: Ketika Bangsa Punya “Bapak”

Tahun 1965, di saat Soekarno dilucuti, Singapura justru lahir dari penderitaan. Negeri kecil tanpa sumber daya itu memiliki Lee Kuan Yew, seorang pemimpin yang menjadi Bapak Singapura.  Ia bukan diktator, tapi pendidik bangsanya sendiri. Ia menanamkan disiplin, logika, dan nasionalisme modern. Kini, paspor Singapura adalah yang terkuat di dunia, mata uangnya terus menguat, dan investasinya menguasai wilayah ekonomi Indonesia.

Sementara itu, Indonesia, 60 tahun sejak Soeharto naik, masih berjalan di tempat. Hasil dari tiga dekade Orde Baru dan dua dekade Reformasi setengah hati adalah bangsa yang tersandera kepentingan oligarki lama. Korupsi merajalela, pendidikan terpinggirkan, dan birokrasi makin membusuk.

Reformasi yang Tak Pernah Selesai

Tahun 1998 sempat menyalakan harapan. Reformasi seolah menjadi oase bagi bangsa yang lama hidup dalam ketakutan. Tapi tak lama, bayang-bayang Orde Baru kembali menembus dinding sejarah.

Golkar tetap eksis, keluarga Cendana tetap kaya, para kroni tetap berkuasa. Soeharto tidak pernah diadili, anak-cucunya tetap berpolitik, dan struktur lama tetap berdiri. Maka benar, Soeharto tidak mati, ia hanya berganti kulit. Kini, 27 tahun setelah reformasi, “roh Soeharto” kembali menari di istana. Ironisnya, ia dibangkitkan bukan oleh jenderal tua, melainkan oleh “anak sipil dari Solo” bernama Joko Widodo.

Jokowi dan Pragmatisme Baru

Jokowi yang dulu dielu-elukan sebagai simbol perubahan, kini menampakkan wajah *Neo-Orba sejati*. Ia menghapus garis ideologis bangsa: bukan Soekarnois, bukan Reformis, bukan Religius. Ia hanya *Pragmatis Oportunis*, persis seperti Soeharto, tapi dengan wajah populis. Infrastruktur dijadikan simbol kemajuan, tapi tanpa arah nilai.

Pancasila dikalahkan oleh *Whoosh*; ide digantikan proyek. Negara kembali dikelola seperti perusahaan keluarga, dan rakyat menjadi buruh yang patuh tapi lapar.

Dan kini, menjelang Hari Pahlawan 10 November 2025, muncul isu getir: apakah Prabowo, mantan menantu Soeharto, akan memberikan gelar “Pahlawan Nasional” kepada ayah mertuanya? Penunjukan Fadli Zon sebagai Menteri Kebudayaan bukan kebetulan; ini adalah *by design*. Upaya mengembalikan narasi Orde Baru lewat pintu sejarah dan simbol budaya.

 Indonesia: 60 Tahun Mundur

Jika itu terjadi, maka kita resmi *mundur 60 tahun*. Pertempuran ideologinya jelas: **oekarno vs Soeharto:
Ideologis vs Pragmatis.
Pancasila vs Whoosh.

Soekarno membangun bangsa dari gagasan, Soeharto membangunnya dari ketakutan. Soekarno mendirikan jati diri, Soeharto menanamkan kepatuhan. Dan kini, Indonesia kembali berjalan di jalan yang sama: tanpa visi, tanpa ideologi, tanpa arah.

Reformasi gagal menanamkan *roh baru*, karena bangsa ini tak pernah menuntaskan *pengadilan sejarah*. Kita menertawakan masa lalu tanpa pernah menebusnya. Akibatnya, Orde Baru tak mati, ia hanya bereinkarnasi dalam bentuk yang lebih halus: demokrasi elektoral yang dibungkus kapitalisme kroni.

Harapan yang Masih Tersisa

Mungkin kegelisahan ini berlebihan, mungkin juga belum terlambat. Masih ada harapan bahwa Prabowo, sang mantan menantu, akan memilih jalannya sendiri, bukan sebagai pewaris Soeharto, tapi sebagai penebus sejarahnya. Bahwa ia tidak akan mengulang 1965, tetapi menulis babak baru 2025, babak kebangkitan ideologis bangsa.

Namun hari ini, saya hanya bisa menulis dengan perasaan getir. Bangsa yang kehilangan bapaknya, kini hampir kehilangan anak-anaknya. Dan di tengah hiruk pikuk proyek dan propaganda, saya hanya bisa berbisik:

 “Indonesia, jangan lagi menjadi yatim.”

Hanny Setiawan

Relawan Indonesia Baru

Coretan Lain:

Please follow and like us: