Hari Ke-1
7 Hari Raya Roti Tak Beragi (Kel 12:16)
Senin, 14 April 2025
Dua Kehausan yang Tak Sama
Hanny Setiawan
Thomas adalah mahasiswa teologi yang cemerlang. Ia hafal sistematika doktrin, mahir bahasa Ibrani dan Yunani, dan mampu mematahkan argumen siapapun dalam debat. Tapi suatu malam, ia duduk sendirian di kapel kampus, memandangi salib kayu di dinding. Di tengah keheningan, ia mendengar bisikan batin yang menohok: “Kamu tahu banyak tentang Aku, tapi apakah kamu sungguh mengenal Aku?” Air matanya mengalir. Thomas sadar, ia selama ini haus—tapi bukan haus akan Allah, melainkan haus akan pengetahuan.
Kisah Thomas bisa jadi cermin bagi banyak dari kita, khususnya mereka yang menekuni dunia pelayanan atau studi teologi. Ada kehausan yang sejati, dan ada kehausan yang menipu. Alkitab menyebutnya dengan cara yang berbeda: spiritual hunger dan intellectual hunger. Keduanya bisa muncul di tempat yang sama—di gereja, di sekolah teologi, bahkan di ruang doa. Tapi arah dan buahnya sangat berbeda.
Kita bisa belajar dari dua tokoh Alkitab yang menunjukkan kontras ini: Maria dan orang-orang Farisi.
Maria, saudara Marta, duduk di kaki Yesus, menyimak setiap perkataan-Nya. Ia tidak sedang mencari bahan khotbah atau menyiapkan ujian teologi. Ia hanya ingin satu hal: mengenal Yesus lebih dalam. Dalam Lukas 10:42, Yesus berkata, “Maria telah memilih bagian yang terbaik, yang tidak akan diambil daripadanya.” Itulah spiritual hunger—kerinduan yang murni untuk berjumpa dan tinggal dalam hadirat Allah.
Sebaliknya, orang-orang Farisi sangat pandai dalam kitab suci. Mereka tahu hukum Musa luar dan dalam. Namun ketika Sang Firman itu sendiri berdiri di depan mereka, mereka tidak mengenali-Nya. Yesus menegur mereka dalam Yohanes 5:39-40, “Kamu menyelidiki Kitab-Kitab Suci… tetapi kamu tidak mau datang kepada-Ku untuk memperoleh hidup.” Mereka haus, tetapi bukan akan Allah—mereka haus akan kontrol, pengaruh, dan superioritas. Itulah intellectual hunger, kehausan yang muncul dari keinginan daging, bukan dari Roh.
Intellectual hunger bisa menyamar sebagai kerajinan rohani. Kita rajin belajar, berdiskusi, menulis artikel, bahkan melayani. Tapi di dalam hati, motivasinya bukan untuk menyenangkan Tuhan, melainkan untuk terlihat pintar, unggul, atau diterima komunitas. Hati-hati, sebab kehausan semacam ini berbahaya. Ia bisa membawa kita semakin jauh dari Tuhan, walau kita merasa semakin dekat.
Namun kabar baiknya, Tuhan senantiasa mengundang kita untuk mengalami spiritual hunger yang sejati. Ia tidak mencari orang yang hanya pandai berkata-kata tentang-Nya, tetapi orang yang rindu mengenal-Nya. Dalam Mazmur 42:2, Daud berseru, “Jiwaku haus kepada Allah, kepada Allah yang hidup.” Daud tidak sedang menulis makalah teologi. Ia sedang mencurahkan isi hati.
Di zaman ini, banyak hal yang bisa mengisi pikiran kita—buku, podcast, seminar. Tapi pertanyaannya, apakah semua itu membuat kita lebih mengenal Tuhan, atau hanya memperbesar ego kita?
Cobalah refleksikan. Ketika membaca Alkitab, apakah kita sedang mencari perjumpaan atau sekadar informasi? Saat berdoa, apakah kita sungguh mendambakan Dia, atau hanya menyelesaikan kewajiban rohani? Mari periksa motivasi hati kita.
Hari ini, mungkin kita seperti Thomas—haus akan banyak hal, tapi merasa kosong. Jangan takut untuk datang kembali kepada Yesus seperti Maria. Duduklah di kaki-Nya. Dengarkan suara-Nya. Biarkan spiritual hunger membakar kembali cintamu pada Tuhan. Sebab hanya orang yang lapar dan haus akan kebenaran yang akan dipuaskan, bukan yang sekadar lapar untuk terlihat benar.
Tuhan rindu dikenal, bukan hanya dibahas.
“Pengetahuan tanpa perjumpaan akan menghasilkan kesombongan. Tapi perjumpaan akan melahirkan penyembahan.”
Hanny Setiawan
Coretan Lain:
- Hari Ke-2 Perjalanan Menuju Allah
- Hari Ke-5 Perjalanan ke Titik Nol
- Hari Ke-3 Di Antara Dua Keinginan
- Hari Ke-4 Respon Yang Berbeda
- Tanda Ilahi