Perang Budaya Populer: Cara Baru Membaca Geopolitik Global

Ketika mendengar kata “geopolitik,” bayangan yang muncul biasanya adalah pertemuan diplomatik, peta konflik, atau negosiasi minyak dan senjata. Tapi dunia telah bergeser. Kini, perang tak selalu berdarah. Ia bisa hadir dalam bentuk musik yang viral, serial yang membuat orang begadang, atau video pendek yang menanamkan ideologi dalam sepuluh detik. Geopolitik era ini adalah soal narasi, dan senjatanya adalah budaya populer.

Hollywood tidak pernah hanya soal film. Ia adalah pabrik impian. Impian tentang kebebasan, tubuh ideal, cinta yang mendebarkan, dan pemberontakan yang indah. Amerika Serikat, dengan mesin industrinya yang halus tapi tajam, telah membanjiri dunia dengan gambaran tentang siapa yang layak dikagumi, ditiru, dan diikuti. Netflix, Disney+, dan Spotify bukan hanya layanan hiburan; mereka adalah duta besar ideologi.

Namun, kekuasaan budaya tak lagi monopoli satu bangsa. Korea Selatan, misalnya, memperlakukan budaya pop layaknya kebijakan luar negeri. K-pop bukan sekadar genre; itu adalah ekspansi. BTS dan BLACKPINK mengirim pesan nasionalisme lunak yang sangat efektif. Di balik ketukan musik dan wajah yang dikoreksi secara estetis, terdapat strategi negara yang cermat dan sangat sadar akan kekuatan pengaruh.

China tak tinggal diam. TikTok menjadi laboratorium eksperimen sosial dan algoritmik yang tak main-main. Di balik tarian dan tren komedi, ada mesin sensor dan pemetaan nilai. Dunia Barat mencemaskan privasi, tetapi mungkin yang lebih perlu ditakutkan adalah kontrol narasi. Di era ini, siapa yang menguasai algoritma, dialah yang menguasai arah budaya massa.

Lalu lihatlah Jepang, diam-diam kembali merebut hati dunia lewat anime. Tidak frontal, tidak agresif. Namun, serial seperti “Demon Slayer” atau “Jujutsu Kaisen” menanamkan gagasan tentang loyalitas, kehormatan, dan spiritualitas kolektif. Jepang tak perlu berteriak—cukup menyentuh dengan kesunyian penuh makna.

Afrika pun bersuara. Burna Boy, Tems, dan Wizkid tidak hanya menyanyikan irama Afrobeat. Mereka adalah perwujudan kepercayaan diri baru pascakolonial. Lagu-lagu itu adalah proklamasi bahwa Afrika tidak lagi ingin dikenal lewat penderitaan, tapi lewat estetika, kreativitas, dan semangat urban.

Sementara itu, Brasil menari di antara konflik sosial dan sensualitas budaya. Funk, samba, dan telenovela menjadi kanal resistensi yang tak kentara tapi menggoyang. Di dunia yang serba identik, Amerika Latin datang sebagai warna lain—komunal, spiritual, dan penuh rasa.

Peter Drucker pernah berkata, “Culture eats strategy for breakfast.” Dalam konteks ini, budaya populer telah menjadi kekuatan yang mengalahkan kebijakan, strategi militer, bahkan ekonomi. Lihat saja bagaimana “Squid Game” dari Korea membuka diskusi global tentang kesenjangan dan kekejaman sistem kapitalisme. Atau pertarungan wacana antara “Barbie” dan “Oppenheimer”—dua film dari Hollywood yang memperlihatkan bagaimana satu industri bisa menyuarakan nilai-nilai yang saling bertolak belakang namun sama-sama mengguncang.

Platform digital adalah medan tempur tersembunyi. TikTok, YouTube, dan Netflix kini seperti pangkalan militer virtual. Siapa yang menguasai distribusi budaya, dialah yang mengendalikan masa depan imajinasi global. Maka, tidak heran bila negara-negara kini mulai memproteksi, bahkan melarang, platform-platform asing. Isu data hanyalah permukaan; di baliknya, ini adalah pertempuran narasi.

Kini dunia bukan lagi sekadar tentang perbatasan negara. Ia soal siapa yang bisa membuat kita menangis karena cerita, tertawa karena meme, dan berpikir ulang karena film. Geopolitik telah menjadi teater imajinatif. Di dunia di mana algoritma menjadi penjaga gerbang, cerita adalah peluru paling tajam.

Kekuasaan hari ini tidak terlihat di senjata atau kapal perang, melainkan dalam video yang ditonton jutaan kali. Inilah perang budaya populer. Siapa yang menulis cerita, dialah yang menulis masa depan.

 Hanny Setiawan

Coretan Lain:

Please follow and like us: