Terorisme Agama, Bagaimana Gereja Harus Bersikap?

Lagi-lagi bom bunuh diri meledak mengoyak tubuh ibu pertiwi. Di Kampung Melayu (24/5/2017), Jakarta Timur, 5 orang tewas dan sekitar 10 lainnya luka-luka.   Terorisme kembali hadir.

Timeline medsos penuh konspirasi teori, dan terasa ada settingan politik yang sangat teroganisir. Tensi politik Indonesia kembali meningkat, kita kembali was-was. Ibu pertiwi kembali menangis.

Kita hanya bisa menduga dan polisi yang akan bertugas membongkar semuanya. Tapi satu hal yang pasti, luka Pilkada DKI 2017 akibat politik SARA yang masih menganga tiba-tiba bagaikan tersiram cuka, sakit dan pedih rasanya.

Bom Kampung Melayu ini adalah yang ketiga selama periode Pilkada DKI 2017. Bom ke-3 ini mungkin bisa disebut injury time, karena terjadi setelah semua selesai : Pilkada, maupun proses hukum Ahok.

Bom pertama adalah bom molotov yang  ditujukan ke Gereja Oikumene Sengkotek, Samarinda. Bom yang membuat miris karena anak-anak  menjadi korban. Bom ini meledak 8 hari setelah demo 411 yaitu 13 November 2017.

Anak Intan Olivia Marbun berusia 2 tahun meninggal sehari setelah bom, tapi media tidak begitu menggubris kisah ini. Dan setahu saya pejabat tinggi negara pun terlihat tidak begitu mau memperpanjang soal ini.  Pilkada DKI 2017 tetap dengan gaya politik SARA-nya, bahkan menyiapkan yang lebih besar demo 212.

Bom kedua adalah bom panci di Bandung 27 Februari 2017, bom ini disinyalir serupa dengan bom yang meledak di Kampung Melayu. Bom kedua ini meledak setelah putaran Pilkada DKI yang pertama, yang dimenangkan Ahok 43%.

Setelah Bom itu, saya sempat menuliskan supaya Anies-Sandi menghentikan politik SARA supaya tidak membuka pintu dan celah untuk radikalisme menunggangi.

Apa daya, suara kecil saya di media sosial belum mampu mempengaruhi mereka. Putaran kedua menjadi lebih ngeri karena merubah pesta gagasan menjadi perang badar.

REFERENSI : Semoga Bom Bandung Menyadarkan Anies-Sandi Untuk Tidak Bermain SARA Lagi

Dan sekarang, bom ketiga sudah merenggut nyawa. Apa yang saya was-was-kan sudah terjadi.  Mungkin analisa amatir saya terlalu paranoid, ketiga bom itu tidak ada hubungannya dengan Pilkada DKI 2017. Tapi biarlah saya tetap menyuarakannya untuk tidak lagi bermain-main dengan isu sektarianisme.

Akan selalu ada penunggang gelap dalam setiap kampanye, tugas kita adalah membuang dan menjaga masing-masing kubu supaya penunggal gelap itu tidak menemukan momentum.

Jangan justru kita menunggangi penunggang gelap, itulah hancurnya batasan kampanye etika moral Anies-Sandi. Dan sekarang kita satu bangsa harus menghadapi yang lebih besar.

Hubungan bom bunuh diri dengan kepercayaan, dan agama tidak bisa ditutupi lagi. Dan hal ini adalah celah besar untuk dipolitisir lebih lanjut. Disini Gereja Tuhan harus berhikmat sehingga bisa berdiri di posisi yang benar.

Saya setuju dengan Denny Siregar ketika dia mengatakan akar perpecahan di Indonesia bukan syiah dan sunni, tapi salah satu yang terbesar adalah Kristen – Islam, kedua adalah Tionghoa – Pribumi, ketiga adalah PKI.

Ketiga isu besar ini sudah mengakar diindoktrinasi di akar rumput Indonesia, kita tidak bisa menganggap remeh, tapi harus menghadapi dengan kepala dingin dan berani. Bukan untuk saling menyalahkan tapi mencari jalan keluar. Itu semangat rekonsiliasi yang benar.

Dalam konteks terorisme agama, Gereja Tuhan harus menyatakan dengan tegas bahwa terorisme bukan bagian dari Islam.  Dan juga bagian dari agama manapun.  Agama langit haruslah bermanfaat untuk kemanusiaan, apabila tidak maka kita bisa pastikan itu adalah penyelewengan ajaran agama.

Aura adu domba sangat terasa, Gereja sebagai agen rekonsiliasi tidak bisa berdiam diri. Kita harus muncul sebagai anak-anak damai atau peacemakers.  Itulah esensi SALIB yang harus dimanifestasikan dalam kehidupan pengikut Yesus Kristus.

Saat-saat seperti ini adalah saat-saat yang dilematis. Karena kita menghadapi orang-orang yang tersamar dan terbungkus dengan simbol-simbol agama. Menyerang mereka akan bisa dengan gampang diplintir menyerang seluruh agama yang diwakili simbol-simbol tertentu.

Dilematis bukan berarti pasif. Kita harus dengan tegas menyatakan garis batas antara fanatik, sektarian, intoleran, radikal, sampai kepada terorisme. Dimana batasnya? Apakah ada batasnya? Apakah perlu dibatasi?

Pertanyaan-pertanyaan ini perlu diangkat dalam dialog-dialog antar umat beragama seperti yang Jokowi harapkan. Agama harus muncul sebagai kekuatan moral, bukan politik, untuk mengembalikan semangt kebhinekaan, tepo sliro, dan kemanusiaan yang menjadi esensi budaya Indonesia.

Doa kita bersama, para politisi dan pejabat negara BERHENTI memainkan politik SARA, dan kita mulai fokus menghadapi musuh ideologis yang sebenarnya.  Terorisme!

Hanny Setiawan

Coretan Lain:

Please follow and like us: